JAKARTA – Meyakinkan warga Berau untuk semangat dalam berkebun kakao bukan pekerjaan mudah. Program stimulan hingga bantuan bibit padahal sudah dilakukan pemerintah, dalam mengintervensi minat para petani dalam bertani kakao.
Pertumbuhan petani sawit dan industri perkebunan lainnya di Berau cukup membuat kelimpungan pemerintah. Bagaimana tidak, keberadaan mutiara seperti kakao ini harus bersaing dengan dunia industri sawit dengan jumlah produksi pertahun mencapai 3 juta ton.
Sementara kakao, saat ini hanya mampu memproduksi sebanyak 463 ribu ton per tahun. Angka yang timpang lantaran jumlah lahan eksisting dan petani kakao di Berau masih sangat kurang. Padahal mimpi Berau ke depan dapat memenuhi pasar ekspor bahan baku coklat ke asia tenggara dan eropa.
Kepala Dinas Perkebunan, Lita Handini, menyatakan petani kakao di Berau termarjinalkan di tengah gempuran perputaran ekonomi perkebunan sawit yang telah eksis sejak awal tahun 2000-an di Berau.
Padahal, menurut data Disbun Berau, para tengkulak kakao di Berau menghargai biji fermentasi kakao dengan harga sangat mahal saat ini. Dengan variasi harga mulai dari Rp125 sampai 175 ribu per kilo. Angka tertinggi selama bisnis biji kakao eksis di Berau saat ini.
Sementara untuk hasil biji basah, dihargai senilai Rp20 sampai 40 ribu per kilogram. Tergantung harga masing-masing mitra petani.
“Ini puncak kejayaan, jangan mau diracuni dengan eksistensi sawit,” kata Lita, dalam diskusi bersama Yayasan Konservasi Alam Nasional (YKAN), di Jakarta beberapa waktu lalu.
Selain mesti bersaing dengan godaan pembukaan lahan sawit, para pekebun kakao di Kampung Merasa, Kelay, juga mesti berperang dengan kehendak penambang batubara yang sudah mulai meluaskan lahan operasi di kawasan kampung tersebut.
Godaan ganti rugi lahan eksisting kakao, cukup menggoyahkan semangat para petani. Padahal, godaaan itu bersifat sementara. Sebab dana segar akan habis pada masanya. Sementara kakao, memiliki nilai investasi sampai puluhan tahun. Tak kalah juga dengan perkebunan kelapa sawit.
“Hama besi hijau ini operasi di dekat kebun masyarakat, izin mereka dari pusat. Kami terus meyakinkan petani kakao untuk teguh memelihara kebunnya,” tegas Lita.
Tantangan lainnya dan paling penting yaitu konsistensi petani. Saat ini di 17 kampung yang masih eksis menanam kakao, petaninya sudah terangkat kesejahteraannya. Menurut pemantauan Disbun Berau, rerata petani kakao, sudah memiliki tiga unit kendaraan. Dua unit pikap untuk bertani kakao, satu unit digunakan untuk kebutuhan keluarga.
“Jangan ragu bertani kakao,” pinyanya.
Saat in terdapat 400 ribu hektar lahan eksisting perkebunan yang didata oleh Disbun Berau. Dimana 150 ribu lahan, masih didominasi oleh perkebunan kelapa sawit.
Ke depan, lahan eksisting tersebut akan ditergetkan mengalami pertumbuhan di perkebunan kakao. Para petani kakao jumlahnya bertambah.
Harapan itu akan selaras dengan semangat pihak ketiga yang juga hingga saat ini masih konsisten mengawal pertumbuhan petani kakao di Berau, ditambah dengan NGO dan LSM lingkungan yang masih memiliki program yang pro terhadap patani kakao.
“Asal tau aja, petani kakao ini full senyum ketemu kami, harga kakao sudah melangit,” kata dia. (*)