BERAU TERKINI – DPRD Kalimantan Timur menyoroti ketimpangan tajam antara masifnya produksi batu bara dengan minimnya setoran yang masuk ke kas daerah. Dewan mempertanyakan transparansi dan kontribusi nyata dari perusahaan pertambangan bagi pendapatan daerah.

Persoalan ini menjadi agenda utama dalam rapat kerja Komisi III bersama Dinas ESDM dan sejumlah perusahaan tambang di Balikpapan. Ketua DPRD Kaltim, Hasanuddin Mas’ud, secara tegas menyoroti ketidaksesuaian antara data produksi dan penjualan batu bara.

Menurutnya, hal ini berdampak langsung pada minimnya penerimaan daerah dari Dana Bagi Hasil (DBH), Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), hingga royalti. Anggota Komisi III, Subandi, bahkan menggambarkan kondisi ini secara lebih lugas.

Ia menilai jumlah tongkang batu bara yang setiap hari melintasi Jembatan Mahakam tidak sebanding dengan pendapatan yang diterima Kaltim. “Kita memiliki data fasilitas publik yang membutuhkan dukungan. Jika CSR belum menjangkau hal itu, maka harus ada penentuan prioritas yang jelas,” ujarnya, Jumat (11/7/25).

Perketat Pengawasan dan Regulasi

Menanggapi berbagai persoalan tersebut, Ketua Komisi III Abdulloh, menegaskan realisasi kegiatan tambang hingga program pemberdayaan masyarakat seringkali tidak sejalan dengan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB). Oleh karena itu, dewan mendorong agar RKAB harus mendapat rekomendasi dari pemerintah daerah sebelum disetujui pusat.

DPRD juga mengusulkan pembentukan satuan tugas (satgas) lingkungan dan CSR. Tujuannya untuk memastikan realisasi program benar-benar sampai kepada masyarakat dan mendukung perbaikan infrastruktur.

Hasanuddin juga mendorong agar seluruh perusahaan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) segera beralih status menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Perubahan status ini diyakini akan memberi ruang lebih besar bagi pemerintah daerah dalam melakukan pengawasan.

“Kami juga mendorong penyusunan Perda tentang CSR dan PPM agar regulasi daerah lebih efektif,” tegas Hasanuddin.