TANJUNG REDEB – Ketua Komisi III DPRD Berau, Liliansyah, merespon dinamika yang muncul menyusul Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) PT Berau Coal yang akan berakhir pada April 2025.
Banyak pihak yang meminta pemerintah menolak perpanjangan izin operasional Berau Coal, sementara yang lain meminta agar Berau Coal tetap beroperasi di Bumi Batiwakkal.
“Saya menilai setiap aspirasi yang disampaikan adalah hak semua masyarakat. Tapi jangan lupa, kita harus melihat semuanya dengan objektif,” katanya, Senin (17/2/2025).
Menurut pria yang akrab disapa Haji Lili ini, segenap dinamika yang muncul perlu dipertimbangkan secara matang. Mengingat, Berau Coal juga menjadi objek vital nasional (Obvitnas) sebagai penyumbang pendapatan negara di sektor pertambangan.
“Berau Coal ini sebagai penyumbang dana bagi hasil (DBH) terbesar, khususnya untuk Kaltim. Jika ini ditutup, maka daerah akan kehilangan pendapatan. Jadi saya kira kita harus bijak melihatnya,” ujarnya.
Haji Lili menyatakan bahwa pada 2024 lalu, investasi di Kaltim mencapai lebih dari Rp52 triliun untuk berbagai sektor. Berau Coal turut berkontribusi dalam tingginya nilai investasi di Kaltim, khususnya di sektor pertambangan.
Pemerintah daerah hingga pemerintah pusat saat ini gencar mengkampanyekan sumber daya alam (SDA) untuk menarik minat investor agar datang berinvestasi.
“Dari sekian banyak investasi yang masuk di Kaltim, Berau Coal ada di dalamnya. Apakah ada jaminan investor yang masuk ke Berau akan lebih baik? Ini jadi pertanyaan yang belum bisa terjawab juga,” jelasnya.
Lili juga menyoroti banyaknya tenaga kerja yang terserap berkat adanya perusahaan tersebut. Dari informasi yang didapatkannya, setidaknya sekitar 20 ribu tenaga kerja menggantungkan hidupnya pada Berau Coal.
Dia mencontohkan “jayanya” PT Kiani Kertas di Kecamatan Sambaliung beberapa tahun lalu. Saat itu banyak karyawan yang bekerja di sana, tetapi setelah perusahaan tersebut tutup, pemerintah kesulitan menanggulangi ribuan karyawan yang kehilangan pekerjaannya.
“Itu salah satu contoh. Dan itu bisa saja terjadi jika Berau Coal ditutup. Mau dikemanakan 20 ribu karyawannya? Itu juga harus dipikirkan dan disikapi dengan bijak,” jelasnya.
Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Berau yang dikelola Perusda Berau, PT Indo Pusaka Berau (IPB), juga akan terdampak karena batu bara yang menjadi bahan baku PLTU disuplai oleh Berau.
“Gelap ini. Mau mengambil bahan baku kemana PLTU?” tambahnya.
Meski begitu, Lili mengapresiasi kritik dari sebagian masyarakat yang menyoroti PT Berau Coal. Menurutnya, hal itu sebagai bagian dari kontrol agar manajemen perusahaan dapat berbenah melakukan perbaikan dan evaluasi.
“Sekali lagi, kita jangan melihat ini sesaat. Tapi dampak luasnya yang perlu kita pikirkan juga,” paparnya.
Lili menegaskan bahwa saat ini tidak ada sektor lain di Kabupaten Berau yang mendekati sektor pertambangan dalam memberikan pendapatan ke daerah.
Sektor pariwisata dan perkebunan di Berau belum bisa menjamin pertumbuhan ekonomi serta menyerap tenaga kerja sebanyak sektor pertambangan.
“Kita tahu semua, penyumbang PAD terbesar itu sektor pertambangan. Sektor lain masih butuh waktu panjang untuk menghasilkan pendapatan seperti itu,” katanya.
Lili menegaskan bahwa dirinya tidak berada pada posisi mendukung keberlanjutan izin Berau Coal, melainkan memberikan pandangan dan masukan mengenai dinamika yang muncul terkait PKP2B Berau Coal.
Menurutnya, salah satu yang dibutuhkan saat ini adalah pengawasan pemerintah yang ketat terhadap manajemen operasional di PT Berau Coal, baik itu dampak dari kegiatan operasi maupun Corporate Social Responsibility (CSR).
“Jika ada yang kurang, itu bisa kita bahas bersama. Semua badan usaha pasti memiliki kekurangan. Mungkin ada yang menyoroti soal reklamasi, ada juga soal CSR. Itu sah-sah saja, tapi itu bisa dievaluasi,” pungkasnya. (/)