SEGAH – Kepala Kampung Tepian Buah, Kecamatan Segah, Surya Emi Susanti, angkat bicara soal penertiban Kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI) seluas hampir 11 ribu hektare yang dilakukan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH) belum lama ini.

Emi mengaku bingung dengan informasi yang beredar di masyarakat. Pasalnya, meskipun disebut-sebut kawasan yang ditertibkan berada di Kampung Tepian Buah, tapi papan penanda penertiban justru dipasang di wilayah perbatasan Kampung Gunung Sari dan Bukit Makmur.

“Plangnya dipasang di antara batas Kampung Gunung Sari dan Bukit Makmur. Tapi dalam informasinya, kawasan yang ditertibkan disebut berada di kampung kami,” ungkap Emi kepada Berauterkini, Kamis (19/6/2025).

Emi mengungkapkan, kawasan yang ditertibkan Satgas PKH disebut seluas 10.714 hektare. Sementara, total luas Kampung Tepian Buah hanya sekitar 16 ribu hektare.

“Kalau benar kawasan itu ada di sini, artinya tersisa hanya 6 ribu hektare untuk kampung kami. Ini yang membuat kami bertanya-tanya,” ujarnya.

Menurut Emi, kawasan HTI yang ditertibkan justru lebih banyak berada di wilayah Kampung Gunung Sari. Karena itu, ia menduga ada kesalahan informasi dalam menentukan lokasi administrasi kawasan tersebut.

“Setahu saya, HTI tidak ada di wilayah kampung kami. Kalau memang ada, tolong tunjukkan petanya. Jangan sampai masyarakat disalahkan atas informasi yang tidak jelas,” tegasnya.

Emi juga mengungkapkan, warga Kampung Tepian Buah selama ini menggantungkan hidup dari bertani dan berkebun.

Tidak ada warga kampungnya yang membuka lahan di dalam kawasan HTI. Apalagi, sepengetahuan dia, tidak ada warganya yang merambah kawasan itu.

“Kami bahkan tidak tahu pasti di mana letak kawasan HTI atau TRH itu. Plang atau penanda pun tidak pernah kami lihat di Tepian Buah,” ujarnya.

Terkait keberadaan lahan garapan warga, ia menyebut sebagian besar telah berstatus Hak Pengelolaan Lahan (HPL). 

Saat ini, pihak kampung juga tengah mengajukan permohonan perubahan status atas lahan lainnya yang sedang berproses.

Meski begitu, Emi menolak keras jika ada penertiban di lahan yang telah dikelola masyarakat selama puluhan tahun.

“Kalau lahan warga yang ditertibkan, itu saya anggap keterlaluan. Kami tidak terima. Selama ini tidak ada kejelasan batas antara kawasan KBK (Kawasan Budidaya Kehutanan) dan KBNK (Kawasan Budidaya Non Kehutanan),” keluhnya.

Ia juga menyoroti ketidakjelasan status kawasan hutan di wilayahnya. Selama ini, masyarakat tidak diberi peta yang menjadi acuan pembukaan lahan, meskipun sosialisasi dari instansi terkait seperti KPHP Berau Barat pernah dilakukan.

“Sosialisasi memang ada, tapi kami tidak pernah diberikan petanya. Jadi, bagaimana masyarakat bisa tahu kalau mereka membuka lahan di kawasan yang dilarang? Tidak bisa serta merta disalahkan,” tegasnya lagi.

Lebih lanjut, Emi menilai penertiban yang dilakukan bukan solusi. Apalagi, pohon-pohon industri yang ditanam di kawasan HTI pun belum ada yang terbukti sukses.

“Sementara, lahan sawit yang disegel itu sudah digarap masyarakat puluhan tahun. Kalau sekarang mau diambil alih begitu saja, itu sangat melukai hati warga,” pungkasnya. (*)