TANJUNG REDEB – Gelombang penolakan atas rencana pengambilalihan pengelolaan Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kepulauan Derawan (KKP3K-KDPS) oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur terus membesar. Suara keras datang dari Ayatullah Khomeiny, tokoh pemuda Berau yang juga Formateur HMI Cabang Berau.
Dalam surat terbuka kepada Gubernur dan Wakil Gubernur Kaltim tertanggal hari ini (2/6/2025), Ayatullah menilai langkah Pemprov mengancam kedaulatan Kabupaten Berau atas kawasan pesisir yang telah dijaga puluhan tahun.
“Bagaimana mungkin tim kecil ini mengawasi kawasan dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia?” tulis Ayatullah.
Ia menyinggung rencana Pemprov yang akan mengelola kawasan seluas 285.548 hektare—termasuk Pulau Kakaban—melalui Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) di Tanjung Batu.
Ironisnya, UPTD itu hanya dihuni tiga personel. Ayatullah menyebut langkah tersebut sebagai bentuk pengabaian terhadap logika konservasi.
Skema Badan Layanan Umum Daerah (BLUD) yang ditawarkan sebagai solusi juga tak luput dari kritik. Bagi Ayatullah, fleksibilitas anggaran tak ada artinya jika kapasitas sumber daya manusia dan pengetahuan lokal diabaikan.
Selama ini, kawasan Derawan-Maratua justru berkembang tanpa BLUD. Pemerintah Kabupaten Berau berhasil mendorong munculnya resort, bandara, hingga geliat ekonomi kreatif. Semuanya dilakukan dengan pendekatan dari bawah: menyentuh nelayan, mengajak masyarakat menjaga laut.
Kritik Ayatullah mengarah ke akar masalah, yaitu relasi kekuasaan antara kabupaten dan provinsi. Ia menilai langkah pengambilalihan ini bertentangan dengan semangat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014. Dalam suratnya, ia menolak penyamarataan antara Berau dan daerah lain.
“Provinsi mengabaikan semangat UU ini dengan menyamakan Berau dan Raja Ampat, dua ekosistem dengan kompleksitas berbeda,” lanjutnya.
Pulau Kakaban bukan sekadar destinasi. Ia menyebutnya sebagai warisan dunia yang menjadi kebanggaan Bumi Batiwakkal. Di sanalah, para penyelam dari berbagai negara menyaksikan ubur-ubur tak menyengat—fenomena langka yang hanya ada di Asia Tenggara selain Misool dan Eil Malk.
Baginya, provinsi tidak akan mampu merawat kawasan sebesar itu jika hanya mengandalkan tarif masuk dan jasa lingkungan. Konservasi butuh kehadiran nyata. Dan itu, menurutnya, selama ini telah ditunjukkan oleh Pemkab Berau.
Alih-alih diputuskan sepihak, Ayatullah mengusulkan model kolaboratif.
Pemprov diminta memperkuat infrastruktur dan membuka akses transportasi darat dan udara menuju kawasan. Ia juga menyarankan promosi internasional dilakukan bersama, sembari memberdayakan SDM lokal—terutama pemuda dan nelayan—yang paling memahami kawasan.
“Jangan patahkan tekad Ibu Bupati yang berkomitmen menjadikan pariwisata sebagai tulang punggung ekonomi pasca-tambang,” ucapnya.
Ia menutup suratnya dengan satu pesan: bahwa perjuangan mempertahankan hak kelola bukan semata perkara kewenangan, melainkan soal hidup.
“Kami rela berkorban untuk konservasi, tapi jangan rampas hak kami mengelola tanah yang menghidupi ribuan keluarga,” tegas Ayatullah. (*)