“Dalam Setiap Ayat yang Ia Lantunkan, Ada Harapan, Cinta, dan Doa”
TANJUNG REDEB – Di tengah riuh anak-anak seusianya yang sibuk mengejar skor gim di layar ponsel, seorang anak laki-laki dari Tanjung Redeb, Muhammad Bakhiet Al-Hafidzi, justru memilih jalan sunyi. Menyuarakan firman Tuhan dengan lantunan yang merasuk kalbu.
Usianya memang baru 12 tahun, tapi sudah mampu membuat kagum, setelah berhasil menyabet Juara 1 tilawah anak di nomor putra dalam Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) ke-55 tingkat Kabupaten Berau.
Mewakili Kafilah Tanjung Redeb, Muhammad Bakhiet tampil gemilang. Bukan hanya berhasil menaklukkan panggung pertamanya dalam ajang bergengsi ini, ia juga mengukuhkan diri sebagai duta Berau menuju MTQ tingkat provinsi yang akan digelar Juli mendatang di Kutai Timur.
Muhammad Bakhiet bukanlah anak biasa. Ia adalah buah hati pertama dari pasangan Samhudi Utari dan Iin Purnita. Sejak usia lima tahun, tilawah sudah menjadi teman akrabnya.
Lantunan tilawah yang menggema dari pengeras suara masjid dan acara keagamaan di sekeliling rumahnya, seperti menjadi magnet yang menarik hati kecilnya untuk jatuh cinta pada Al-Quran.
Bukan sekadar cinta yang lahir dari dorongan orang tua. Melainkan dari ketertarikan yang tumbuh seiring akrabnya mendengar dan mempraktikkan suara langit itu sejak kecil.
Berawal dari bimbingan sederhana orang tuanya, bakat Muhammad Bakhiet mulai bersinar. Cahaya itu kemudian ditangkap oleh seorang guru tilawah, Ustaz Muslim Abdul Haq.
“Beliau lah yang setia membimbingnya, mendalami ilmu tilawah hingga mengantarkannya ke panggung MTQ,” kata sang ayah, Samhudi Utari.
Di bawah asuhan sang ustaz, remaja kelahiran Berau, 19 Desember 2012, itu tak hanya belajar membaca dengan baik. Tapi juga belajar mencintai setiap ayat yang ia lantunkan.
Tak jarang, Muhammad Bakhiet yang sekarang menempuh pendidikan di Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN) tersebut, juga diminta menjadi pelantun ayat suci di berbagai acara keagamaan.
“Dari Maulid Nabi hingga Isra Mi’raj. Sering lah dia diundang ketika ada acara keagamaan seperti itu,” ujarnya.
Suaranya lembut namun menghujam. Selalu berhasil menggetarkan hati yang mendengarnya. Dengan pembawaan yang tenang, mentalnya pun semakin terasah.
“Meski usianya baru 12 tahun, dia percaya diri tampil di depan orang banyak. Memang kepercayaan dirinya itu tumbuh sejak dia kecil. Karena selalu ikut dengan saya bertemu orang banyak,” katanya.
Dari sana, jalan menuju MTQ pun terbuka. Di tingkat Kecamatan Tanjung Redeb, Muhammad Bakhiet tampil memukau. Dengan irama khas dan pengejaan yang mudah dipahami, ia berhasil merebut hati para dewan juri dan menyabet juara pertama.
Langkah itu pun membawanya ke Gunung Tabur. Tempat di mana ia kembali membuktikan bahwa usianya yang belia, tak menjadi halangan untuk menjadi yang terbaik.
“Jujur, kami tidak menyangka. Ini kali pertamanya ikut MTQ dan langsung juara 1,” terangnya.
Kebanggaan itu tak datang tiba-tiba. Di saat teman-temannya menghabiskan waktu dengan gawai, Muhammad Bakhiet memilih duduk bersila, membuka mushaf, dan melatih nafas serta artikulasinya.
Sebenarnya dia sudah pernah mencicipi panggung “nasional” pada saat pandemi COVID-19 lalu. Dia menjadi juara 1 untuk kategori azan dan tartil dalam kompetisi yang digelar secara online. Pesertanya anak-anak sebayanya dari berbagai penjuru Indonesia.
“Saya lupa apa nama eventnya saat itu,” sambung Samhudi sambil berusaha mengingat.
Namun, bagi Muhammad Bakhiet, kemenangan bukan akhir. Ia tahu, medan berikutnya jauh lebih berat, yakni MTQ tingkat Provinsi Kalimantan Timur. Ia akan bersaing dengan anak-anak terbaik se-Kaltim. Memperebutkan tiket menuju pentas nasional.
“Masih banyak yang perlu dipelajari, baik dari sisi tajwid dan lain-lainnya, terutama pelajari hati agar tidak berpuas dan berbangga diri dengan prestasi,” kata ayahnya lagi.
Rutinitasnya kini kian padat. Pagi dan sore ia habiskan untuk latihan fisik. Malamnya, ia kembali setia dengan ayat-ayat suci. Ada satu alasan mengapa ia begitu gigih. Dia punya harapan untuk bisa bertemu, bahkan satu panggung, dengan qari idolanya, KH Muammar ZA.
“Dia ingin sekali bisa melantunkan Al-Qur’an dan berduet dengan KH Muammar ZA. Itu mimpinya,” sambung ibunya yang berada di samping sang ayah.
Di antara anak-anak yang sibuk mengejar mimpi dunia, Muhammad Bakhiet memilih mengejar cahaya langit. Dan dalam setiap ayat yang ia lantunkan, ada harapan, cinta, dan doa.
Suaranya tak sekadar indah, tapi juga menuntun siapapun yang mendengarnya untuk kembali mencintai Al-Qur’an. (*)