TANJUNG REDEB – Bencana banjir yang menggenangi ribuan warga di puluhan kampung di Kabupaten Berau diyakini terjadi akibat eksploitasi hutan yang belum bisa dikendalikan.
Bupati Berau, Sri Juniarsih Mas, beberapa waktu lalu menyatakan perlu segera melakukan program reboisasi untuk mengembalikan fungsi hutan yang sudah puluhan tahun dibabat.
Ribuan hektare tutupan hutan di Bumi Batiwakkal kini telah beralih fungsi menjadi lokasi usaha pertambangan dan perkebunan.
Berkurangnya sumber resapan air saat hujan membuat air mengalir deras ke badan sungai dan mengirim luapan langsung menuju kampung-kampung di sekitarnya.
Kasi PKSDA dan Pemberdayaan Masyarakat KPHP Berau Barat, Edhuwin, menjelaskan, perusahaan yang memiliki izin penggunaan kawasan hutan (PKH) diwajibkan melakukan reboisasi kawasan hutan, khususnya untuk memastikan rehabilitasi daerah aliran sungai atau Rehab Das.
Dia menuturkan, jika perusahaan memiliki izin PKH seluas 1.000 hektare, maka perusahaan wajib melakukan Rehab Das seluas 1,1 ribu hektare.
“Itu sifatnya wajib, bila sudah selesai beroperasi,” kata pria yang akrab disapa Edhu kepada berauterkini.co.id beberapa waktu lalu.
Edhu menegaskan, sektor pertambangan dan perkebunan merupakan penyumbang terjadinya degradasi hutan di Berau. Namun, ada juga masyarakat yang melakukan pembakaran hutan untuk menanam padi, meski risikonya masih dapat ditoleransi.
“Kalau yang untuk menanam padi, konsepnya masih ramah lingkungan. Tidak berpengaruh terhadap kondisi banjir seperti saat ini,” ujarnya.
Meski begitu, Edhu juga tidak memungkiri, APBD Berau masih sangat bergantung dari Dana Bagi Hasil (DBH) batu bara.
Terkait perusahaan pertambangan nakal yang tak melakukan reklamasi dan reboisasi hutan, kata Edhu, jumlahnya hingga saat ini belum diketahui. Sebab, KPHP baru akan berencana melakukan pemutakhiran data pada tahun ini.
Namun, menurutnya, pada 2010, dari total luasan hutan yang ditangani KPHP Berau Barat, 5 persen di antaranya telah beralih fungsi. Angka itu diprediksi meningkat hingga tiga kali lipatnya saat ini.
“Kami masih perlu melakukan digitasi dulu terkait itu,” tegasnya.
Dia menegaskan, Dinas Lingkungan Hidup (DLH) juga memiliki tanggung jawab untuk melakukan reboisasi hutan menggunakan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam Kehutanan Dana Reboisasi (DBH-DR).
Dana ini diberikan kepada daerah-daerah penghasil sumber daya alam kehutanan untuk membiayai kegiatan reboisasi, rehabilitasi hutan, dan lahan serta kegiatan pendukung lainnya.
Dia mencontohkan kegiatan reboisasi yang bisa dilakukan dengan menanam bambu di sepanjang aliran sungai yang bermanfaat untuk menghalau terjadinya abrasi.
Edhu menambahkan, KPHP memiliki program hutan rakyat dengan memberikan bibit tanaman pohon kepada masyarakat kampung secara gratis, seperti yang dilakukan di Kampung Pandan Sari, Kecamatan Segah.
Bibit yang diberikan tersebut, selain untuk menumbuhkan keseimbangan ekosistem bumi, juga dipercaya dapat meningkatkan taraf ekonomi masyarakat kampung.
Beberapa tahun belakangan ini, KPHP telah melakukan penghijauan kawasan hutan gundul di lahan seluas 150 ha. Rinciannya, di Teluk Bayur seluas 80 ha, Kampung Pandan Sari 30 ha, dan Kampung Tumbit Melayu 30 ha.
Bantuan bibit diberikan dengan komposisi 75 persen tanaman okulasi buah-buahan dan sisanya tanaman kehutanan seperti pohon ulin, mahoni, hingga trembesi.
“Kami mempersilakan masyarakat mengambil bibit ke kami secara gratis, 1 KTP bisa dapat 10 bibit,” ungkapnya.
Mengutip laporan Mongabay Indonesia, Direktur Eksekutif Walhi Kaltim, Fatur Roziqin Fen, menyebut, maraknya alih fungsi lahan menyebabkan hilangnya daerah resapan air.
Walhi Kaltim pun menganalisis DAS dan hutan yang hilang. Melalui analisis spasial Geographic Information System (GIS) menggunakan data Pusat Peta Batas Wilayah milik Badan Informasi Geospasial, luas administrasi mencapai 1.405.800,34 hektar pada 2018, untuk empat kecamatan terdampak, yakni Kelay, Sambaliung, Teluk Bayur, dan Segah.
Dari luasan itu, tutupan hutan pada tahun 2000 seluas 1.268.733,89 ha, lalu berkurang menjadi 1.123.603,54 ha pada 2022. Artinya, hanya dalam dua dekade, tutupan hutan hilang mencapai 145.130,45 ha untuk berbagai kegiatan, seperti permukiman, perkebunan sawit hingga pertambangan batubara.
Analisis Walhi Kaltim itu juga mengungkap adanya perubahan status dari hutan primer yang menjadi perkebunan sawit. Catatan Walhi, selama kurun waktu yang sama, Berau kehilangan hutan alam 428.967,94 ha, dari 902.285,47 ha untuk perkebunan sawit.
Merujuk data Minerba One Maps Indonesia Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tahun 2018, terdapat 32 perusahaan pertambangan batu bara di empat kecamatan terdampak banjir dengan luas konsesi 76.413,01 ha.
Dia yakin, perubahan bentang karena alih fungsi lahan ini berkontribusi besar terhadap banjir Berau beberapa pekan lalu. Kondisi DAS yang rusak pada akhirnya menyebabkan air dengan cepat melaju hingga memenuhi badan sungai.
“Jadi, apakah benar banjir Berau hanya karena cuaca? Dari hasil analisis spasial ini, masyarakat dan pemerintah bisa menilai dan menyimpulkan sendiri,” ujarnya.
Dia pun mendesak pemerintah mengatasi akar persoalan penyebab banjir. Misal, memperketat alih fungsi lahan guna mencegah peristiwa serupa di kemudian hari. (*)