JAKARTA,- Mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong (TTL) atau Tom Lembong ditetapkan sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam kasus impor gula pada 2015. Lembong diduga menyebabkan kerugian negara sebesar Rp 400 miliar.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Abdul Qohar menyampaikan, keterlibatan Tom Lembong dalam kasus ini bermula pada 12 Mei 2015.
Saat itu, rapat koordinasi antarkementerian menyimpulkan bahwa Indonesia mengalami surplus gula sehingga tidak memerlukan impor.
Namun, meskipun keputusan rapat menyatakan tidak butuh impor, Tom Lembong tetap mengeluarkan izin impor pada 2015 kepada PT AP.
“Saudara TTL memberikan izin persetujuan impor 105.000 ton gula kristal mentah kepada PT AP, yang kemudian diolah menjadi gula kristal putih,” ungkap Qohar dalam konferensi pers di gedung Kejagung, Selasa (29/10/2024) malam, seperti dikutip dari BeritaSatu.com.
Qohar menambahkan, kebijakan impor tersebut dikeluarkan tanpa melalui rapat koordinasi dengan kementerian terkait atau meminta rekomendasi kebutuhan riil gula dalam negeri.
Aturan dalam Peraturan Menteri Perdagangan dan Perindustrian Nomor 57 Tahun 2004 menyatakan, hanya BUMN yang diperbolehkan mengimpor gula kristal putih. Namun, dalam kasus ini, gula kristal mentah diimpor oleh perusahaan swasta dan kemudian diolah menjadi gula kristal putih.
Pada 28 Desember 2015, rapat koordinasi di sektor ekonomi kembali digelar. Dalam rapat tersebut, diproyeksikan bahwa Indonesia akan mengalami kekurangan gula kristal putih sebesar 200.000 ton pada tahun 2016.
Untuk mengatasi kekurangan stok dan menjaga stabilitas harga gula, Direktur Pengembangan Bisnis PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI), CS, memerintahkan pertemuan dengan delapan perusahaan swasta yang bergerak di bidang gula, yakni PT PDSU, PT AF, PT AP, PT MT, PT BMM, PT SUJ, PT DSI, dan PT MSI.
Delapan perusahaan tersebut mengolah gula kristal mentah menjadi gula kristal putih, meski izin mereka seharusnya hanya terbatas pada pengelolaan gula rafinasi.
Gula impor dijual langsung ke masyarakat melalui distributor terafiliasi dengan harga Rp 16.000 per kilogram, di atas harga eceran tertinggi (HET) saat itu sebesar Rp 13.000 per kilogram. Selain itu, tidak ada operasi pasar untuk menstabilkan harga.
Qohar mengungkapkan, PT PPI menerima fee sebesar Rp 105 per kilogram dari delapan perusahaan tersebut untuk setiap gula yang diimpor dan diolah.
Akibat tindakan ini, negara mengalami kerugian sekitar Rp 400 miliar. (*)