JAKARTA – Praktik judi online terus menciptakan lingkaran utang baru di tengah masyarakat, terutama di kelompok ekonomi bawah. Data Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) menunjukkan bahwa 3,8 juta dari total 8,8 juta pemain judi daring sepanjang 2024 hidup dari pinjaman.
Sebagian besar penjudi diketahui mengakses kredit dari bank, namun tak sedikit pula yang akhirnya beralih ke pinjaman online (pinjol) karena tidak lagi memiliki akses formal ke lembaga keuangan.
Situasi ini memperlihatkan bahwa aktivitas berjudi tak lagi sekadar risiko finansial, tetapi telah berubah menjadi krisis sosial.
“Di tahun 2024, dari 8,8 juta pemain, 3,8 jutanya memiliki pinjaman,” ujar Kepala PPATK Ivan Yustiavandana dikutip dari Antara, Kamis (8/5/2025).
Tren ini meningkat drastis dari tahun sebelumnya. Pada 2023, dari 3,7 juta pemain, sebanyak 2,4 juta di antaranya tercatat sebagai debitur.
Permasalahan semakin kompleks karena kebutuhan dasar tetap harus dipenuhi, sementara penghasilan habis untuk berjudi. Akibatnya, pinjol menjadi alternatif yang makin sering digunakan.
“Dia pinjamnya larinya ke pinjol,” tegas Ivan.
Kondisi itu diperburuk oleh fakta bahwa pemain dari kelompok berpendapatan rendah mendominasi transaksi judol. Dalam laporan kuartal pertama 2025, sebanyak 71,6 persen dari total 1.066.970 pemain berasal dari kelompok berpenghasilan Rp0-5 juta per bulan. Pada 2024, angkanya mencapai 70,7 persen dari hampir 10 juta pemain.
Belanja untuk kebutuhan sekunder dan perjudian pun meningkat tajam. Jika pada tahun-tahun sebelumnya seseorang dengan penghasilan Rp1 juta hanya menghabiskan sebagian kecil untuk berjudi, kini hampir seluruh pendapatannya bisa habis di platform digital.
“Dulu kemungkinan dapat Rp1 juta dibuang cuma Rp300 ribu. Sekarang dapat Rp1 juta, Rp900 ribu bisa terbuang untuk judi online,” ucap Ivan.
PPATK menilai, fenomena ini bukan lagi sekadar soal pelanggaran hukum, melainkan juga soal ketahanan sosial masyarakat. Kecanduan berjudi telah mendorong sebagian besar warga ekonomi lemah ke titik kritis, terjebak antara kemiskinan dan jeratan utang. (*)