TANJUNG REDEB – Hujan lebat disertai gemuruh guntur pukul 23.00 Wita, Selasa (27/5/2025), tak disangka menjadi pertanda buruk bagi Matheus Lejiu (39) dan warga Kampung Long Ayap, Kecamatan Segah.

Hujan yang membasahi kawasan hulu Sungai Segah ini, rupanya menampung air bah dengan debit besar yang turun ke wilayah ilir.

Bagi warga, hujan itu sudah biasa. Namun, tak ada yang menyangka bisa berujung petaka. Bahkan, semasa hidup warga yang hampir setengah abad bermukim di Long Ayap, hujan demikian sudah biasa.

Air biasanya naik hanya sampai bibir sungai. Pun naiknya hanya satu meter dari daratan. Kondisi semacam ini sudah biasa dialami warga kampung yang aksesnya dari pusat kecamatan, di Tepian Buah, sekitar 2,5 jam perjalanan darat.

Malam itu pun semua terlelap. Larut dalam lautan pulau kapuk saat tengah malam. Lalu, pertanda banjir muncul sekira pukul 03.00 WITA, atau di sepertiga malam itu. Air mulai menggenang setinggi satu meter. Masih sama dengan tanah rumah warga yang rata-rata tingginya dua sampai empat meter.

Saat pagi menjelang, sekira pukul 06.00 WITA, air mulai meninggi, menutupi setengah pintu rumah warga. 

Lejiu dibangunkan satu jam sebelumnya oleh air yang masuk rumah saat ia terlelap.

Dia pun panik dan berusaha menyelamatkan orang tuanya yang sudah berumur 87 tahun yang ia rawat sejak hanya bisa terbaring di tempat tidur.

Tak banyak yang dia evakuasi. Hanya baju di badan dan beberapa helai pakaian yang dimasukkan ke dalam tas ransel. 

Dia lalu keluar rumah menggunakan perahu yang sudah sibuk hilir mudik ke daratan yang dikemudikan oleh warga sekitar yang juga terdampak.

“Sempat saya selamatkan mama,” ucap Lejiu di tengah kebingunannya saat ini.

Rumah Lejiu hanya sekitar 1,5 meter dari permukaan tanah. Bangunan rumah yang semuanya terbuat dari kayu tua itu berdiri sejak 2014. Dibangun memang untuk rumah masa tua bagi dia dan orang tuanya.

Berukuran hanya sekitar 7×8 meter, rumah kayu itu pun terendam di tengah arus yang deras. Semua pintu dan jendela saat itu sudah tertutup. Harapannya, rumah kayu itu tetap menjaga perabotan agar tak hanyut ditelan banjir air bah.

Saat banjir sudah mulai semakin meninggi, sekitar dua meter dari tinggi rumahnya, kekhawatirannya membuncah. Rumahnya mulai bergerak mengikuti arus, mulai berpindah sekira dua meter dari lokasi awal. 

Dia kemudian mencari batang kayu dan fondasi rumah yang lebih kokoh di samping rumahnya.

Demi menahan rumahnya tak hanyut terseret arus banjir, dia mengikat tali yang tak cukup besar. Hanya berukuran empat kali dari tali tambang besar.

Dia pun mengikat kolongan rumah dan pohon yang masih kuat menahan arus banjir. Dia tak sendiri, koleganya dan tetangga ikut membantunya mengikat fondasi rumah yang terbuat dari kayu ulin.

“Rumah sudah bergeser. Ini hanya ditahan pohon kelapa dan rumah di samping ini,” cerita Lejiu penuh kepanikan.

Dia mengatakan, berkas rumah hingga pakaian semuanya hanyut dibawa banjir. Yang tersisa hanya lemari berukuran sedang, meja kompor beserta kompor gasnya.

Sementara perlengkapan lain, seperti kursi tamu, pakaian, stok bahan makanan, alat dapur, dan printilan lainnya habis dilumat banjir.

“Semua habis. Tidak ada yang tersisa. Cuma kompor saja sama mejanya, lemari juga ada,” ucapnya.

Lejiu benar-benar dibuat bingung saat ini. Rumahnya kini berada persis di badan jalan utama kampung. Rencananya mau dikembalikan ke titik semula. Namun membutuhkan tenaga yang banyak.

Kekhawatiran rumah bakal roboh pun menghantuinya. Sebab bangunan kayu itu sudah bengkok dari sambungan papan di ruang tamu menuju dapur. Posisinya sudah tak ideal. Tinggi di bagian depan, rendah di tengah sampai dapur.

“Takutnya nanti ini patah, saya bingung,” ujar Lejiu yang mencoba untuk tetap tegar.

Dari musibah ini, dia kapok. Tak mau lagi tinggal di titik terendah Kampung Long Ayap. Dia berencana pindah ke titik yang lebih tinggi. Tinggal kembali di rumah yang akan diberikan pemerintah nanti dengan bermodal material yang saat ini masih ada.

Kini, Lejiu hanya bisa berharap bantuan untuk bisa pindah dan tinggal di rumah yang akan dibangun lewat program pemerintah.

“Jera saya, mau pindah aja ke atas,” ucapnya.

Senada dengan Lejiu, Kalja (78), pria renta ini juga dibuat kalang kabut karena banjir. Dia juga mengalami nasib serupa. Rumahnya kebanjiran setinggi atap.

Hidup hanya bersama istrinya di rumah yang berbahan dasar kayu, Kalja juga tak menyangka, sungai yang jadi tempatnya mencari penghidupan, harus membuatnya menderita saat ini.

Kalja pun bersedia bila harus direlokasi. Pindah bersama dengan istrinya ke rumah yang lebih aman.

“Saya kapok juga. Ini banjir terbesar yang saya alami selama tinggal di kampung ini,” tutur dia bersedih.

Bupati Berau, Sri Juniarsih, yang datang melihat kondisi warganya sehari setelah kejadian, membawa solusi untuk memindahkan mereka ke bagian daratan yang lebih tinggi di kampung.

Di lahan seluas 150 hektare, rencananya bakal dijadikan lokasi perkampungan yang baru yang akan disiapkan langsung oleh Kepala Kampung Long Ayap, Jemi.

“Kami akan bantu untuk bangun rumah kembali, bapak ibu di sini tak perlu khawatir,” janji Bupati perempuan pertama Bumi Batiwakkal ini.

Saat ini, bantuan pun terus mengalir. Gotong-royong warga Berau menyalurkan logistik sedikit meringankan penderitaan warga Long Ayap. (*)