TANJUNG REDEB – Girik atau bukti kepemilikan tanah, tak akan berlaku lagi sebagai alas hak perorangan maupun lembaga pada 2026 mendatang.
Ketentuan tersebut merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) 18/2021. Girik tak dapat dijadikan kekuatan hukum bila dalam satu kawasan telah memiliki sertifikat hak milik atau SHM.
Bukti girik tersebut hanya berlaku di Pulau Jawa. Tanah yang merupakan warisan adat yang saat ini tak lagi diakui pemerintah dalam hal pengakuan status kepemilikan tanah.
Sementara di Berau, girik terang tak berlaku. Kepala Kantor Pertanahan Berau, Jhon Palapa, menyatakan soal kepemilikan tanah telah diatur pemerintah daerah.
Aturan tersebut tertuang di dalam Perda nomor 5/2019 tentang Penyelenggaraan Administrasi Penguasaan Tanah Negara. Perda tersebut memberikan kepastian hukum dalam penerbitan surat keterangan penguasaan tanah (SKPT).
“SKPT itu dikeluarkan oleh camat, bisa jadi alas hak untuk diterbitkan sertifikat,” kata Jhon, ditemui awak media ini di ruang kerjanya, beberapa waktu lalu.
Surat keterangan penguasaan fisik bidang tanah dan SKPT, saat ini berlaku di Berau untuk menjadi kekuatan hukum bagi warga untuk menguasai bidang tanah.
Dalam surat keterangan itu, ditandatangani oleh dua orang saksi yang tak memiliki ikatan darah dengan pemilik tanah.
Hal itu diatur di dalam Pasal 24 ayat 2, PP 24/1997 tentang pendaftaran tanah. Landasan itu pun yang diterapkan di Berau dalam setiap pengurusan sertifikat bidang tanah.
“Itu dijadikan petunjuk atau penguat untuk bisa kami buatkan sertifikat,” ucapnya.
Lebih jauh, Jhon juga menerangkan ihwal status tanah milik kerajaan atau swapraja.
Ia menegaskan, saat ini tak ada lagi status tanah tersebut. Semua bidang tanah tanpa sertifikat, sepenuhnya milik negara.
Ketentuan tersebut tertuang di dalam Undang-undang Nomor 1/1956 tentang pokok-pokok pemerintahan daerah.
Hanya saja, pemerintah tetap dapat memberikan hak, bila dalam jangka waktu tertentu tanah swapraja tersebut dikelola oleh pemilik tanah.
“Semua tanah tanpa sertifikat merupakan tanah milik negara,” tegasnya.
Ia juga memberikan keterangan jelas, bila saat ini negara mengakui beberapa subjek pemilik hak atas tanah. Yakni perorangan, badan hukum, dan pemerintah baik daerah maupun pusat.
Sementara, dalam hukum pertanahan, tanah disebut sebagai objek yang dapat dikuasai oleh setiap subjek tersebut.
“Cara meraihnya pun beda-beda, ada juga yang statusnya hibah,” terang dia.
Di akhir, ia meminta kepada setiap pihak agar aktif mengurus sertifikat tanah. Hal ini selaras dengan program pemerintah yang di mulai pada tahun ini.
“Demi menghindari sengketa, ini bisa diurus sekarang. Bila bersengketa, maka itu jadi ranah pengadilan negeri,” ungkap Jhon. (*)