Foto: Penulis Legenda Berau Saprudin Ithur
TANJUNG REDEB – Berau menyimpan sejuta cerita menarik dibalik asal-muasal terbentuk sejak ratusan tahun silam. 13 kecamatan yang ada, memiliki legenda yang menarik untuk disimak. Bisa dijadikan bahan cerita keluarga hingga pengantar tidur anak-anak.
Ragam cerita prosa rakyat itu dikemas secara baik oleh Saprudin Ithur. Seorang pengarang tulisan yang mahir menyusun setiap cerita yang pernah disampaikan orang tua alias tetua kampung.
Cerita itu dia susun rapi dalam buku-buku legenda yang aktif diterbitkannya sejak 2013 lalu. Hingga 2023 ini, sudah 8 cerita dan satu kamus bahasa Berau ia terbitkan. Namun, sebelum mengetahui karya-karyanya, simak dulu siapa gerangan Saprudin Ithur ini.
Saprudin. Begitu dia akrab disapa. Mendedikasikan diri untuk memberikan pengetahuan bagi murid SD 002 pesisir, sekira tahun 1981 di Tanjung Batu. Kemudian, pindah ke Tanjung Perpat menjadi kepala sekolah pada 1984. Saat itu, dia nyambi menjadi nelayan. Berbekal pukat dari nelayan di Tanjung Perepat.
Saat dia menjadi kepala sekolah, banyak mendapat kiriman buku dongeng, cerita rakyat, hingga buku kedaerahan. Buku itu langsung dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (Depdikbud) RI. Bakal anak-anak sekolah di pesisir selatan Berau tersebut.
Buku yang menggunung itu pun menggugah gairahnya untuk aktif membaca. Mengisi kesibukan disela-sela menjadi kepala sekolah, nelayan dadakan dan berolahraga.
“Kebiasaan kami dulu itu, pasti ngambil buku kiriman. Banyak sekali untuk anak didik kami,” kata Saprudin.
Dari situ, muncul kebiasaan untuk bercerita dan menulis. Hingga dirinya bertemu dengan tetuah di Tanjung Perepat, Oseng. Atau nama aslinya Husain berusia sekitar 70an tahun. Oseng inilah yang merangsang insting penulisnya. Sebab Oseng senang bercerita dan Saprudin gemar menulis. Semua cerita oseng ia tulis dengan tangannya sendiri saat itu.
“Kebiasaan itu yang saya bawa kemanapun. Membaca, cerita, dan menulis. Semua saya abadikan pakai tulis tangan dan mesin tik,” ucap dia bercerita penuh semangat.
Puas berkelana di pesisir, pada 1996 dirinya kemudian mendapat jabatan baru sebagai Penilik Kebudayaan di Kantor Depdikbud Kecamatan Tanjung Redeb. Karirnya semakin membaik kala bertugas di ibukota kabupaten. Tak lama berselang, dia menjabat sebagai Kasubag Depdikbud Berau. Kemudian menjabat lagi sebagai Kasubag TU Depdikbud Berau orang nomor dua di departemen saat itu.
Karir moncer selama bertugas di Depdikbud Berau, dia berharap bisa mendapat jabatan sebagai pegawai di Kanwil Kaltim. Namun sayang, sejak era 2000-an formasi berubah. Karirnya mandeg. Tapi miliki karir di penilik kebudayaan, membuat dia semangat untuk berwisata budaya. Berkeliling Berau.
Lama berselang saat ia sudah menjabat sebagai Kepala Bidang Kebudayaan Depdikbud Berau, pada 2012 awal dirinya memunculkan niat untuk menjadi pengarang buku legenda Berau. Berbekal kegemaran untuk menulis. Mencatat setiap cerita yang ia dapat, dari Sambaliung sampai Gunung Tabur.
Ia bongkar semua karya yang ia simpan rapi dalam tas plastik yang aman dari air bahkan rayap. Mulai yang dia ketik pakai mesin tik, hingga catatan tangannya sejak ia muda dulu.
Saat menjabat sebagai Kabid itu juga ia menganggap pembukuan sejarah Berau itu penting. Bahkan, ia kerap kebingungan menjawab pertanyaan mahasiswa yang bertandang ke Berau yang menanyakan soal asal muasal setiap wilayah di Berau.
Nah, sadar dengan kebutuhan itu. Saprudin lalu mencatatkan ceritanya itu di sebuah blog pribadi. Bisa diakses di laman saprudin01.blogspot.com. Blog itu dibuat berkat jasa dari para pegawai muda di Depdikbud saat itu.
“Pertama kali saya catat itu di blogspot. Dibantu anak anak muda itu,” kata Saprudin.
Setahun berselang aktif sebagai blogger, sebutan para penulis yang aktif di blogspot. Ia mulai memberanikan diri untuk mencetak setiap karya yang dia buat. Cetakan pertama pada 2013 lalu, diberi judul “Bangbal Menjadi Raja”.
Dia katakan, pencetakan buku pertama yang dibuat itu berkat relasi yang ia bangun selama merantau ke Bumi Batiwakkal. Tentunya dukungan dari kawula muda di ibukota Kaltim, Samarinda. Dari anak-anak teater yang kerap diskusi bersama dirinya.
Pada saat itu, justru penulis dari Balikpapan yang memberikannya jaringan penerbit buku di Jogjakarta. Ia sebut nama beliau, Dzulhamdi. Penulis sekaligus pengembang komunitas teater asal Balikpapan yang menghubungkan dia sampai ke penerbit Jogja bernama Cupit Media.
“Itu berkat komunikasi semuanya. Saya sangat terbantu oleh beliau. Ngasih jaringan penerbit di Jogja. Sampai pada 2013 terbitlah buku pertama saya,” terang dia.
Pria kelahiran Samarinda, 3 Januari 1960 itu, kemudian menerangkan sedikit soal buku pertamanya itu. Dalam buku legenda berjudul Bangbal Menjadi Raja itu, terdapat 10 cerita yang saling berkaitan. Dapat didongengkan ke anak kecil saat mau tidur.
Setelah terbit buku pertamanya itu. Ia lalu mendapatkan jaringan yang lebih luas. Pustaka pelajar menjadi pemeran dalam penyaluran bakat menulis Saprudin Ithur, selanjutnya. Pada 2015 Pustaka Pelajar menerbitkan bukunya berjudul Meriam Pijitan dan Meriam Sumbing.
Kemudian pada tahun yang sama Legenda Danau Tebo pun terbit. Menyusul Si Ayus Putra Rimba Raksasa, pada 2017. Selanjutnya Batu Ajaib Si Kuntum Taklamun, pada 2018. Lalu, Raja Alam Sultan Alimuddin Perang Melawan Belanda, pada 2022. Kemudian Kamus Bahasa Berau Banua’ Kaltim, pada 2022. Terakhir Syair Badiwa 2023 yang ia simpan di perpustakaan Berau.
“Semua ini berkat komunikasi. Jangan segan untuk memulai komunikasi, tapi tetap harus sopan,” ucap dia mengingatkan.
Minat Baca Gen-Z, Cuman Lewat Gadget
Menurunnya kunjungan ke perpustakaan daerah, menurut pria beranak tiga itu, bukan sebagai realitas yang menakutkan. Sebab, sarana baca saat ini berbeda.
Menurut dia, saat ini anak muda lebih suka membaca lewat gadget. Menggunakan sarana teknologi yang sedang berkembang di era modern saat ini. Bahkan, fasilitas aplikasi gratis I-Pusnas menjadi salah satu bagian sarana untuk membaca.
Walhasil, pencarian informasi lebih mendalam sudah tak lagi di perpustakaan. Cukup lewat perpustakaan sekolah dan fasilitas yang ada di sekolah. Termasuk lewat gawai setiap anak yang telah dibekali oleh orang tua masing-masing.
“Fenomena itu benar. Cuman tingkat membaca itu masih tinggi. Karena langsung lewat gadget,” kata dia.
Bahkan, generasi saat ini melampiaskan pengetahuan lewat konten yang bisa disebarkan lewat sosial media. Hanya saja yang jadi catatan soal akurasi informasi yang disampaikan. Valid atau tidak. Bila tidak, maka literasinya masih kurang dan masih perlu banyak lagi membaca.
“Itu fenomena yang sedang terjadi. Arus informasi sulit dibendung. Tinggal kita menilai, valid atau tidak,” sebut dia menasehati.
Ke depan, dia berharap dapat muncul lebih banyak lagi generasi yang cinta terhadap daerahnya. Melalui itu, tidak menutup kemungkinan bakal muncul banyak pengarang baru yang dapat mengembangkan dan menguatkan cerita rakyat Berau.
“Semua bisa, tapi harus cinta dulu terhadap daerahnya. Baik pendatang maupun anak lokal asli Berau,” kata dia. (*)
Reporter: Sulaiman