TANJUNG REDEB – Di tengah hiruk-pikuk modernisasi, seorang seniman muda tetap teguh melestarikan budaya melalui seni kriya.
Bayu Eko Wibowo, pemuda Berau yang kini baru beranjak 24 tahun, telah memilih jalan sunyi dalam hidupnya.
Sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, Bayu tumbuh dengan semangat menciptakan sesuatu yang bermakna.
Inspirasi datang dari pengalamannya sewaktu masih duduk di bangku SMA. Kala itu Bayu mengikuti pelatihan kriya di Hotel Grand Parama bersama komunitas Akrab, akronim dari Anak Kreatif Berau.
Ketertarikan Bayu dengan seni kriya membawanya ke level yang lebih serius. Setahun lalu, ia pun berhasil menyelesaikan studinya di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) dengan mengambil jurusan Pendidikan Kriya dan lulus pada 24 Februari 2024.
Pilihan jurusan ini bukan sekadar karena kecintaannya terhadap menggambar dan kerajinan, tetapi juga karena keinginannya untuk membawa seni kriya ke level yang lebih tinggi.
“Pendidikan kriya itu penting, selain melatih keterampilan, kita juga bisa melestarikan budaya khas daerah,” ungkap Bayu.
Ia percaya bahwa seni kriya bisa menjadi media yang fleksibel dan mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman, khususnya di era digital.
Bayu mendalami berbagai bidang kriya, mulai dari kriya kayu, kriya batik, kriya tekstil, kriya keramik, kriya logam, hingga kriya kulit.
Namun, ia memilih pendalaman pada kriya kayu dan kriya keramik. Ia bahkan menjalani magang di industri keramik dan kerajinan kayu di Sleman dan Bantul, Yogyakarta, untuk memperdalam keterampilannya.
Salah satu karya andalannya adalah ukiran kayu yang mengangkat ikon burung enggang, hewan endemik Kalimantan yang dipadukan dengan motif naga dan dayak.
Bayu menjelaskan proses pembuatan ukiran kayunya. Dimulai dengan riset mengenai ikon budaya, ia lalu membuat desain karya, memilih kayu jati belanda dengan serat unik, dan menggabungkannya dengan logam kuningan untuk memberi kesan mewah.
Dalam prosesnya, ia tidak hanya menggunakan teknik ukir dan etsa logam, tetapi juga teknik bakar pada kayu guna memperjelas bagian-bagian serat kayu, sehingga menghasilkan detail yang lebih tegas dan estetis.
Teknik-teknik tersebut menghasilkan karya fungsional seperti hiasan dinding dan cermin. Namun, tantangannya tidak sedikit.
“Di Berau, ketersediaan alat dan bahan masih terbatas, begitu juga dengan seniman yang aktif,” ungkapnya.
Meski demikian, Bayu tidak menyerah. Ia aktif mengikuti pelatihan, pameran, dan survei untuk memperluas jaringan serta mencari inspirasi.
Sebagai anggota komunitas seni Ruang Rupa Berau, Bayu percaya bahwa anak muda memegang peran penting dalam melestarikan budaya.
Dengan teknologi digital, mereka dapat mempromosikan dan mengembangkan karya seni kriya, baik melalui media sosial, workshop, dan pameran.
“Kriya di Berau masih sangat potensial untuk dikembangkan. Jika kita kreatif, kita bisa membawa seni ini bersaing di tingkat nasional bahkan internasional,” ujarnya penuh semangat.
Bayu bermimpi seni kriya di Berau dapat lebih dikenal dan diapresiasi.
Ia berharap komunitas seni, para penggiat kriya, dan pemerintah daerah bisa bersinergi dalam bentuk event atau pameran.
Dengan begitu, kriya di Berau tidak hanya lestari, tetapi juga menjadi kebanggaan yang bisa diperkenalkan ke seluruh dunia.
“Lewat seni kriya, kita bukan hanya berkarya, tetapi juga menjaga identitas dan warisan budaya,” pungkas Bayu.
Semangat Bayu adalah pengingat bahwa di balik selembar kayu dan logam, tersimpan cerita, makna, dan masa depan seni yang tak pernah pudar. (*)