TANJUNG REDEB – Janji sekolah gratis kembali terdengar nyaring di setiap musim pemilu. Tidak terkecuali di Bumi Batiwakkal, janji serupa dilontarkan pasangan Sri Juniarsih-Gamalis saat maju dalam Pilkada 2024 lalu.
Mereka menjanjikan biaya pendidikan gratis dari jenjang TK, SD, dan SMP. Tidak cuma saat mendaftar, pasangan petahana itu juga menjamin buku hingga seragam sekolah gratis untuk pelajar di setiap jenjang.
Pertanyaan sederhana muncul dari Ikatan Keluarga Alumni Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Kabupaten Berau (IKA KPMKB) Makassar. Mereka menanyakan apakah janji itu bakal terealisasi atau hanya sebatas janji belaka.
“Pendidikan selalu jadi jualan politik,” kata Ikbal, anggota Ikatan Keluarga Alumni Keluarga Pelajar dan Mahasiswa Kabupaten Berau (IKA KPMKB) Makassar, saat diwawancarai Berauterkini.co.id pada Senin (14/4/2025) kemarin.
Menurut Ikbal, janji kampanye seharusnya tak berhenti di panggung-panggung kampanye. Ia menyebutnya sebagai kontrak moral antara kandidat dan rakyat.
“Kalau janji itu tidak ditepati, yang dirugikan bukan cuma pelayanan publik, tapi juga kepercayaan masyarakat,” ujarnya.
Selama masa kampanye, kata Ikbal, isu pendidikan kerap dibalut dengan jargon peningkatan kualitas guru, perbaikan fasilitas sekolah, distribusi beasiswa, hingga kemudahan akses. Tapi janji tinggal janji.
“Yang kita lihat, banyak yang tak berlanjut saat sudah duduk di kursi kekuasaan,” katanya.
Ia mengusulkan adanya platform digital yang bisa diakses publik, semacam situs pelacak janji kampanye.
“Jadi masyarakat bisa tahu mana yang benar-benar dijalankan dan mana yang cuma retorika,” ucap Ikbal.
Ia menyoroti satu hal yang lebih penting, Sri Juniarsih kini sudah memasuki periode keduanya sebagai bupati. Artinya, tak ada beban politik lagi untuk mempertahankan citra elektoral.
“Kalau janji tidak ditepati, tidak akan ada sanksi elektoral. Itu yang berbahaya,” katanya.
Karena itu, kata Ikbal, peran masyarakat menjadi krusial. Mengawal janji pemerintah bukan hanya tugas aktivis atau oposisi, tapi hak semua warga yang pernah memilih. Sebab ketika janji tinggal ilusi, yang menanggung akibatnya adalah publik itu sendiri. (*)