TANJUNG REDEB – Pemerintah tak mengakui keberadaan alas hak tanah yang dibuktikan melalui Eigendom Verponding, pembagian tanah yang populer di era kolonial Belanda.
Status eigendom pun telah dicabut, setidaknya melalui beleid yang diteken pemerintah pada 1960, Undang-Undang Nomor 5 tentang peraturan dasar pokok-pokok Agraria.
Kendati demikian, praktik pencaplokan lahan dengan metode tersebut masih dilakukan oleh beberapa pihak yang mendapatkan warisan tanah dari zaman penjajahan.
Kepala Kantor ATR/BPN Berau, Jhon Palapa, menerangkan bahwa pada Pasal 1 UUPA, Ayat 3 menyebutkan sejak penghapusan alas hak tersebut, setiap pihak yang mengklaim memiliki eigendom diberikan kesempatan 20 tahun untuk mengonversinya sejak UU tersebut diberlakukan.
“Tanah itu harus dikonversi, bila itu eigendom,” kata Jhon, saat ditemui awak media di ruang kerjanya, Senin (10/3/2025).
Aturan tersebut juga dipertegas dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 8/2021, pada Pasal 95 tentang hak barat (warisan Belanda) yang tak lagi berlaku. Dengan otomatis, tanah tersebut dikuasai oleh negara.
Dia menerangkan bahwa secara teknis, pengukuran tanah yang menggunakan eigendom sukar dilakukan. Sebab, teknis pengukuran tanah di era penjajahan dahulu sudah tak semodern saat ini.
“Hak barat ini kita tidak bisa menentukan koordinatnya,” kata dia.
Lebih lanjut, ia menegaskan bahwa yang diakui pemerintah saat ini, penerbitan sertifikat hak milik (SHM) dapat dilandaskan melalui dua bukti kepemilikan.
Pertama, melalui surat kepemilikan tanah atau SKPT yang diterbitkan oleh kecamatan, dan kedua, melalui surat keterangan penguasaan fisik tanah.
Hal itu diatur dalam beleid Perda Berau Nomor 5/2019 tentang Penyelenggaraan Administrasi Penguasaan Tanah Negara.
“Ini dibuktikan dengan kesaksian lurah dan camat di lokasi bidang tanah,” sebutnya.
Jhon mengaku sudah pernah menjadi mediator dalam kasus tanah yang didasari eigendom. Saat itu, pihaknya telah mensosialisasikan ketentuan yang berlaku saat ini.
Sosialisasi tersebut dilaksanakan sebagai upaya untuk meminimalkan potensi konflik yang terjadi antara pihak yang bersengketa.
“Sudah pernah kami sampaikan langsung ke pihak yang bersengketa,” ujar pria berkacamata itu.
Di akhir, dia menegaskan bahwa tak ada aturan lain yang berlaku selain beleid yang telah ia beberkan sebelumnya. Kekuatan alas hak hingga sertifikat menjadi acuan, hingga di meja pengadilan.
“Kalau yang menentukan tetap pengadilan, tapi yang kami terbitkan adalah SHM,” tegas dia. (*)