TANJUNG REDEB – Tak banyak yang menyangka perjalanan usaha Farida bermula dari sebuah ikhtiar personal: keinginan memiliki anak. 

Saat ditugaskan ke Kalimantan Utara beberapa tahun lalu, ia menemukan madu hutan lokal yang diyakini berkhasiat. Tak disangka, setelah rutin mengonsumsinya, ia akhirnya dikaruniai empat anak.

“Saya lama tidak punya anak, lalu ditugaskan ke Kaltara dan bertemu madu hutan ini. Begitu dicoba ternyata ikhtiar ini berubah manis, semanis madu produknya,” ujar Farida.

Dari pengalaman itu, Farida pun mulai memasarkan madu hutan Kalimantan dengan merek King Madu Borneo. Awalnya hanya dijual dalam lingkup kecil, tapi perlahan produk ini menembus pasar nasional, hingga ekspor ke sejumlah negara di Asia seperti Malaysia, Singapura, dan Hongkong. Kini, bahkan sudah sampai Washington, Amerika Serikat.

Brand King Madu Borneo membawa misi lebih dari sekadar bisnis. Farida ingin madu yang ia jual menjadi “raja” dari hutan Kalimantan—bukan hanya karena kualitasnya, tapi karena warisan alam liar yang diolah secara etis dan tradisional.

Farida menekankan bahwa madu adalah produk alam yang disebut dalam Alquran sebagai wasilah penyembuh. Ia ingin masyarakat juga merasakan khasiat serupa dari madu asli hutan Kalimantan, bukan hasil budidaya.

Untuk pemasaran, Farida melayani penjualan ritel per kilogram maupun dalam skema B2B. Salah satu pengiriman terbesar ke Malaysia mencapai 80 kilogram, terdiri dari berbagai varian: madu kuning, madu hitam, madu pahit, hingga madu kelulut.

Varian yang paling diminati adalah madu hitam hutan, yang dikenal mengandung antioksidan dan alkaloid tinggi. Produk ini banyak dibeli untuk keperluan pengobatan, terutama oleh konsumen lansia. Di pasar luar negeri, madu hitam juga menjadi produk unggulan.

“Kalau buyer luar negeri yang paling best seller sering dipesan adalah madu hitam karena memiliki kandungan tinggi antioksidan dan alkaloid yang sangat baik untuk mengobati peradangan,” ungkapnya.

Farida mengklaim bahwa semua produk madunya berasal dari panjatan lebah liar di hutan Kalimantan, bukan budidaya. Proses ini menjadi nilai jual tersendiri karena dilakukan manual dan cukup berisiko.

“Kami punya tim sendiri yang khusus memanjat di lapangan. Ini jadi nilai jual tersendiri bagi para buyer, karena vegetasi hutan Kalimantan adalah yang terbaik di Indonesia,” ujarnya.

Produk King Madu Borneo dijual mulai harga Rp35 ribu untuk botol 100 gram, hingga Rp265 ribu untuk varian premium. Tak jarang, produk ini dijadikan hampers oleh Pemkab Berau maupun instansi nasional seperti Bank Indonesia.

Dalam perjalanan usahanya, Farida mendapat pendampingan dari Kementerian Perdagangan, Rumah BUMN, Bank Indonesia, dan Diskoperindag Berau. Ia juga kerap tampil dalam ajang nasional seperti Trade Expo Indonesia untuk memperluas jangkauan bisnisnya.

Pengakuan atas produk dan ketekunannya tidak berhenti di situ. Farida sempat meraih penghargaan UMKM Terbaik di bidang ekspor dari Kaltimpreneur Bank Indonesia, serta menjadi bintang pelopor dalam program Inkubasi UMKM Pertamina. (Adv/aya)