TANJUNG REDEB – Banjir parah yang melanda Kabupaten Berau beberapa pekan lalu mendorong pemerintah untuk mematangkan dokumen tanggap darurat sebelum dan sesudah bencana.

Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Berau, Nofian Hidayat, mengatakan telah bertemu dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait dalam mengevaluasi situasi tanggap bencana yang akan dilakukan pemerintah.

Terdapat beberapa poin yang dibahas dalam evaluasi tersebut, di antaranya pemetaan kawasan rawan bencana, evaluasi dokumen tata ruang, penyaluran bantuan, penanganan kesehatan warga terdampak banjir, hingga proses pemulihan trauma korban.

“Itu poin serius yang dibahas kemarin,” kata Nofian, Rabu (11/6/2025).

Dia mengungkapkan, evaluasi tersebut merupakan tindakan terukur pemerintah dalam menyambut bulan basah atau masa curah hujan tinggi pada Oktober, November, dan Desember.

Pada masa tersebut, curah hujan diprediksi akan sangat tinggi dan berpotensi menimbulkan bencana banjir yang akan meneror warga bantaran Sungai Kelay dan Segah.

“Ini sudah diprediksi secara ilmiah dan setiap tahun seperti itu,” tuturnya.

Dirinya juga membocorkan hasil evaluasi di bidang pembangunan sarana jembatan antar kampung. Pada banjir lalu, kampung dibuat terisolir akibat dari jembatan yang hanyut disapu banjir.

Persoalan ini dianggap sangat serius lantaran berpengaruh terhadap proses pengiriman bantuan logistik untuk kampung terdampak.

“Jembatan ini juga akan diperbaiki langsung oleh pihak terkait,” kata dia.

Nofian menambahkan, dalam situasi kebencanaan terdapat siklus penting yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah.

Dalam upaya pencegahan, pemerintah mesti memastikan hutan sebagai resapan air limpasan Sungai Kelay dan Segah tak gundul demi mengurangi debit yang turun langsung ke aliran sungai.

Kemudian, dari aspek penanganan, BPBD Berau memastikan saat ini telah memiliki unit yang cukup andal untuk memberikan bantuan sementara kala banjir melanda.

Menurut Nofian, aspek terpenting menurut kamus kebencanaan adalah memastikan proses rehabilitasi dan rekonstruksi berjalan dengan cepat. 

Pasalnya, para korban banjir tak bisa dibiarkan berada di posko pengungsian dalam jangka waktu yang lama.

Dalam proses rehabilitasi, warga bersama pemerintah mesti bekerja sama untuk memastikan hunian pasca bencana dapat diperbaiki secepat mungkin.

Tak hanya itu, warga yang menjadi korban bencana pun diberikan program pendampingan untuk mendapatkan pemulihan psikologis pasca bencana terjadi.

“Ini untuk menormalkan kembali aktivitas masyarakat, termasuk ekonomi dan pelayanan publik” kata dia.

Kemudian, dalam tahap rekonstruksi, pemerintah mesti memastikan sarana umum, seperti jalan, listrik, air bersih, rumah ibadah, sarana pendidikan, hingga balai adat.

Bangunan yang nantinya akan dibangun ulang juga harus melalui proses kajian yang matang agar tidak kembali rusak oleh bencana banjir yang sewaktu-waktu bisa datang.

Dia mengungkapkan, relokasi warga bantaran sungai merupakan agenda yang tepat saat ini. Sebab, tak menutup kemungkinan di masa depan akan terjadi banjir dengan debit air yang lebih besar.

“Karena memang bahaya, ukuran air kita tidak dapat tentukan. Ini (banjir) datang tiba-tiba,” pungkasnya. (*)