TANJUNG REDEB – Johan Manachim, seorang penyelam profesional dari Resort Noah di Maratua, menjadi sosok krusial dalam pencarian jenazah turis asal China, Zhang Xiao Han, di perairan Kakaban, Kecamatan Maratua, Sabtu (3/5/2025). Bagaimana kisahnya?

Tragedi hilangnya Zhang Xiao Han terjadi pada Jumat pagi (2/5/2025), ketika Johan sedang mendampingi tamu resort untuk wisata selam, sehingga belum bisa langsung terlibat dalam operasi pencarian.

Namun, ia tetap menunjukkan kepeduliannya dengan menawarkan bantuan melalui grup WhatsApp komunitas resort di Maratua.

“Kalau butuh sesuatu tolong kabari,” kata John saat itu.

Di hari itu, setidaknya ada sekira 10 speedboat ikut mencari, mulai dari aparat TNI-Polri, Basarnas, penyelam dari resort tempat korban menginap, termasuk pihak terkait lainnya. Namun belum ada hasil apapun.

Keesokan paginya, saat baru bangun tidur dan membuka gawainya, Johan mendapat kabar bahwa turis itu sudah ditemukan. Tapi, saat itu informasinya di kedalaman 90 meter.

Namun, informasi itu belum akurat karena hanya berdasarkan pengamatan, bukan temuan langsung. Dirinya pun belum bisa ikut serta dengan tim pencari lantaran masih mendampingi tamu.

“Kebetulan Sabtu pagi itu jadwal penyelaman terakhir,” jelasnya.

Dirinya tetap memantau jalannya pencarian melalui “udara”, sambil mencari informasi akurat terkait posisi korban, meskipun belum mendapat respons memuaskan. 

Johan kembali bertanya di grup WhatsApp terkait dari mana informasi posisi korban di kedalaman 90 meter. Menurutnya, 90 meter itu cukup dalam. 

“Batin saya, dalam banget itu 90 meter,” kata pria kelahiran 8 Februari 1978 ini. 

Meski begitu, Johan cukup yakin kedalaman itu masih bisa dijangkaunya. Dari grup itu juga, dia mendapat jawaban, bahwa diketahuinya posisi korban teramati oleh penyelam dari kedalaman 40 meter. Masih berupa pengamatan.

“Yang ngomong itu bukan penyelam, tapi perwakilan. Mungkin salah persepsi kali ya. Intinya saat itu masih terlihat, bukan terangkat,” paparnya.

Setelah dirinya selesai mendampingi tamu dan makan siang, diputuskan berangkat ke Spot Kelapa Dua sekira pukul 12.30 WITA. Johan membawa beberapa divers dari Resort Noah, di antaranya Peterson, Ongko, Pairin, dan Rasyid selaku kapten perahu.

Adapun pusat komando pencarian berlokasi di Green Nirvana Resort (GNR). Namun timnya memutuskan langsung menuju lokasi kejadian bertemu dengan tim penyelamat lain.

Saat tiba sekitar pukul 13.00 WITA, lokasi tampak kosong dan tidak ada tim pencari lain. Johan heran, tidak ada siapa-siapa di sana. Satupun boats dari tim pencari tidak terlihat di sekitar lokasi, di tambah sinyal telekomunikasi juga sangat minim.

“Memang di spot itu, kalau hanyut, itu bisa hanyut jauh. Saya sempat mikir, jangan-jangan bukan ini titiknya,” kata Johan kepada rekannya.

Namun, dirinya berhasil melakukan konfirmasi melalui grup WhatsApp, ternyata tim pencari masih istirahat di posko.

“Tapi yang kami bingung, kok sama sekali enggak ada orang di lokasi,” katanya. 

Johan sempat berdiskusi dengan rekannya dari Noah. Pada umumnya, jika jenazah ditemukan di kedalaman, seharusnya ada tanda yang dipasang untuk mengkonfirmasi bahwa di bawah tanda itu ada korban.

“Kalau tidak ada tanda, dari mana kita turunnya kan. Saya ngebatinnya begitu,” ujarnya.

Namun, karena mengusung misi kemanusiaan dan ditambah salah satu timnya pernah mengalami kehilangan yang serupa, menjadi salah satu penyemangatnya dalam mencari korban. Timnya pun mulai bersiap mengarungi kedalaman laut yang penuh ketidakpastian. 

“Ada anggota kami yang pernah ngalamin dan sampai sekarang tidak ditemukan itu tidak nyaman. Kami hanya berharap, semoga ditemukan,” katanya.

Untungnya, di sana ada penyelam dari resort lain yang sedang melakukan wisata selam. Tapi bukan di lokasi kejadian. Dirinya menyempatkan ngobrol-ngobrol sebelum terjun.

Kebetulan juga penyelam yang ditemuinya itu sempat melakukan pencarian di hari sebelumnya. Dari informasi, penyelam itu sudah melakukan pencarian di kedalaman 50 meter.

Sempat 50 menit menunggu dan tim pencari gabungan belum datang, akhirnya timnya memutuskan untuk turun “menyapu” sekitar lokasi hilangnya korban.

“Kami turun berempat. Strategi kami turunnya bertingkat. Ada yang turun di kedalaman 50 meter dan yang maksimum 70 meter,” jelasnya.

Johan dan timnya mencari hanya berbekal informasi dari grup WhatsApp bahwa korban ada di kedalaman 90 meter.

“Dan saya menyelam paling dalam. Jadi kalau ada apa-apa, kami sudah punya eskalasi. Kalau rasa takut, kami sudah lupakan,” ujar instruktur Scuba Schools International Divemaster (SSI DM) ini. 

Dalam mengarungi kedalaman laut Spot Kelapa Dua, jarak pandang saat itu cukup terbatas. Dari kedalaman 50 meter, untuk melihat penyelam di kedalaman 70 meter tidak kelihatan. Begitu juga sebaliknya. 

Dari kedalaman itu, dia membagi timnya menjadi dua. Dua orang di kedalaman 50 meter dan dua orang lagi, termasuk dirinya, di kedalaman 70 meter.

Tak berapa lama, timnya yang berada di kedalaman 50 meter memberi kode dengan memukul sesuatu menggunakan stik besi. Johan pun sempat menyangka korban sudah ditemukan dan memutuskan untuk naik ke 50 meter.

“Ternyata mereka ngasih kode karena tidak menemukan korban dan juga tidak melihat kami di kedalaman 70 meter,” jelasnya.

Pada kedalaman 50 meter, terjadilah miss komunikasi antara dirinya dengan rekannya yang sama-sama menyelam di kedalaman 70 meter. Saat itu, rekannya mengikuti dua penyelam di kedalaman 50 meter. Sementara dirinya turun menuju kedalaman 90 meter. 

“Dan tanpa saya sadar saya turun lagi. Tapi turunnya pelan-pelan. Karena saya kira teman saya ngikuti di belakang,” terang instruktur diving di Noah Resort ini.

Sekira 3-4 menit turun, dirinya melihat ada objek putih-putih berukuran cukup besar. Karena penasaran, dirinya pun mendatangi objek tersebut dengan hati-hati.

“Saya samperin, ternyata itu adalah posisi korban. Korban saya temukan di kedalaman 77 meter, bukan 90 meter. Mungkin karena pasang surut jadi kedalamannya berubah,” jelasnya. 

Saat itu posisi korban setengah membungkuk di dasar pasir. Di sekitarnya tidak ada batu, hanya ada koral di depan kiri kepala.

Di sekitar jenazah juga dirinya tidak melihat sama sekali ada tanda-tanda yang dipasang tim pencari gabungan atau bekas diberi tanda, mengingat sebelumnya tim pencari sudah menemukan korban di kedalaman 90 meter.

“Menurut saya, keberadaan jenazah ini memang belum teridentifikasi,” katanya. 

Posisi korban, cerita Johan, masih berada di Spot Kelapa Dua. Masih dalam jalur penyelaman. Bahkan, lokasinya masih berada di antara awal dan akhir titik penyelaman.

“Rutenya sama. Hanya lebih dalam,” ujarnya.

Saat masih berada di kedalaman, dia juga mengecek keadaan jenazah. Katanya, jenazah masih bagus, lengkap dan utuh. Hanya udara oksigen di tabungnya yang sudah habis. Dia menduga, penyebab korban meninggal karena kehabisan oksigen.

“Dugaan saya kehabisan udara karena regulatornya sudah terlepas. Apakah karena kedalaman atau karena arus, saya tidak tahu,” katanya.

Usai mendapatkan korban, dirinya memberi kode ke atas dengan suara stik baja dan senter dengan harapan teman-temannya tahu dan menunggu dia di kedalaman tertentu.

“Tapi saat itu tidak ada respons,” ujarnya.

Di sinilah tantangan sebenarnya. Johan harus berjibaku dengan waktu. Jika tidak cermat menggunakan waktu dan keterampilannya sebagai instruktur diving, bisa saja dirinya juga ikut menjadi korban.

“Di penyelaman, waktu adalah sesuatu yang sangat-sangat berharga,” kenangnya.

Karena ketika dirinya lebih lama satu menit di dasar, maka dirinya harus naik dengan waktu 30 menit. Dirinya pun merangkak naik ke permukaan dengan membawa korban. Pelan-pelan menyusuri dasaran sambil mencari referensi.

Untuk menjaga korban tetap bersamanya, Johan pun menggunakan cara dasar diving rescue, yakni  mengangkat korban tak sadarkan diri di dalam air.

“Saya peluk korban dari belakang, tangan kanan saya menyilang memegang Harness BCD dan tangan kanan korban di atas tangan kanan saya. Sementara tangan kiri saya mengontrol inflator BCD korban. Kalau korban jatuh masih bisa ditangkap,” terangnya.

Saat evakuasi dari kedalaman, dia menghemat energi dengan mengembungkan BCD korban. Namun lantaran udara korban di tangki telah habis, dirinya pun mengisi secara manual. Ya, meniup udara dengan mulut. Mengingat dia juga masih memiliki tabung oksigen.

“Makanya saya bisa sendiri mengangkat korban ke permukaan,” jelasnya.

Pelan tapi pasti, dengan keterampilannya Johan mampu menaklukkan kedalaman di laut itu. Setelah sampai di kedalaman 50 meter, Johan memberi kode lagi ke timnya, namun tak ada respons.

Dirinya terus bergerak naik ke kedalaman 12 meter. Kembali Johan memberi kode sinar senter, namun tetap tidak ada jawaban.

Begitu juga saat dia memberikan kode di kedalaman 9 meter, masih tidak ada jawaban. Kemudian, di kedalaman 6 meter, Johan mengembangkan SMB dengan harapan motorisnya atau tim lain yang mencari bisa melihat tanda yang dia berikan.

“Karena di kedalaman itu sudah bisa terlihat tanda SMB. Tapi tidak ada juga yang mendekat,” paparnya.

Perjuangannya kembali diuji di kedalaman 3 meter di mana kondisi laut sudah mulai berarus. Akan membahayakan baginya jika tetap berada di sana.

“Di sisi lain saya harus menjaga waktu saya, di sisi lain saya harus menjaga jenazah yang saya bawa,” terang Johan.

Dengan pengalaman dan keterampilan yang mumpuni, Johan bersama korban sampai di permukaan. Dia pun melihat timnya juga naik ke permukaan, namun dengan jarak 50-100 meter dari lokasinya.

Teman-temannya kemudian mendatangi Johan dan membantu evakuasi korban dengan peralatannya ke dalam perahu.

“Karena kalau kami lepas, khawatir bagian tubuh korban ada yang patah, mengingat korban sudah lebih 24 jam di dalam air dan sudah kaku,” jelasnya.

Setelah semua diangkat ke boat, barulah kondisi korban diamati. Dikatakannya, korban saat itu sudah membiru dan mulai bengkak. Korban juga mulai mengeluarkan darah.

Di bagian bibir seperti ada sayatan yang diduga disebabkan oleh binatang laut seperti udang dan kepiting.

“Itu dugaan kami,” jelasnya.

Setelah dievakuasi ke dalam perahu, korban kemudian dibawa ke GNR untuk diserahkan kepada tim pencari gabungan. Saat dalam perjalanan, Johan mengomunikasikan ke posko pencari bahwa korban sudah ditemukan.

“Tapi saat itu tidak ada respons,” katanya.

Kurang lebih 100 meter dari dermaga GNR barulah kapal tim pencari keluar. Dirinya sempat memberikan isyarat bahwa jenazah sudah ditemukan.

Saat itu, tim pencari meminta jenazah untuk diserahkan. Kebetulan yang mendekat ke perahunya adalah Speedboat Basarnas dan di sana juga ada owner GNR.

Meski sempat terjadi adu argumen, namun owner Resort Noah meminta agar jenazah diserahkan saja ke perahu Basarnas.

Semua tim di kapal Basarnas masuk ke perahu dan mulai mengevakuasi korban menggunakan kantong mayat. Saat itu, timnya sudah tidak dilibatkan sama sekali.

“Ya sudah kami lihat saja. Mereka keluar dari boat dan membawa jenazah ke dermaga,” jelasnya. 

Johan juga menegaskan, dalam menemukan korban, pihaknya tidak ada yang terlibat dalam rencana pencarian yang disusun tim pencari. Apalagi, untuk menyelam di kedalaman itu risikonya sangat berbahaya.

Dia menjelaskan, selama penyelaman, dia membutuhkan waktu 55 menit. Untuk proses naik memakan waktu 46 menit dan itu cukup menguras energi.

“Padahal saya turun dan ketemu jenazah itu tidak sampai 10 menit sebenarnya. Dan kalaupun disuruh ulang saya juga tidak memberikan rekomendasi,” katanya.

Memang apa yang dia lakukan saat menemukan korban, semua guide dan divers Maratua bisa. Siapapun kata dia bisa. 

“Mereka di sana profesional, tapi kita kan tidak bisa memaksa karena mereka tahu resikonya seperti apa,” tegasnya.

Menurutnya, jika harus menunggu alat yang memadai harus beberapa hari menunggu. Apalagi, di kedalaman 90 meter itu harus menggunakan helium. Sementara, helium di Kota Tarakan tidak ada, di Berau pun tidak ada. Kalaupun ada penggunanya butuh keahlian khusus.

“Untuk menyelam di kedalaman 90 itu harus memiliki alat khusus. Tapi kita tidak punya pilihan lain,” jelasnya.

Disinggung soal bonus Rp1,6 miliar, Johan sedikit tertawa. Dia memastikan, timnya turun tangan bukan karena imbalan, tapi karena misi kemanusiaan.

Meskipun imbalannya cukup besar, tidak semua orang punya nyali turun di kedalaman 70-80 meter tanpa peralatan khusus.

“Kami bukan gara-gara itu kok. Kebetulan saja kami baru bisa bergabung di hari Sabtu. Setelah ada berita imbalan. Kalaupun ada imbalan, itu bonus,” tutupnya. (*)