SAMBALIUNG – Kampung Inaran di Kecamatan Sambaliung tidak pernah benar-benar kering. Selama dua bulan terakhir, hujan bukan sekadar suara yang meninabobokan malam. Ia telah berubah menjadi alarm waspada. Pertanda bahwa banjir akan datang.
Dalam dua bulan terakhir pula, Sungai Kelay lima kali meluap. Lima kali pula rumah-rumah warga terendam.
Setiap kali banjir datang, warga harus kembali menjalani ritual darurat. Menjemur kasur, mengeringkan pakaian bersih, menyelamatkan barang-barang berharga, dan mempersiapkan diri untuk kembali mengungsi.
“Sudah seperti tamu bulanan, hanya saja tidak pernah diundang,” kata Kepala Kampung Inaran, Amirullah, Rabu (7/5/2025).
Inaran, kampung kecil yang terletak di dataran rendah, memang sudah akrab dengan banjir. Tapi, tahun ini berbeda. Bukan hanya air yang datang lebih tinggi, tapi karena ia datang lebih sering.
Hampir tiap pekan warga dicekam waswas. Tak ada waktu benar-benar pulih dari banjir sebelumnya, mereka harus bersiap menghadapi yang berikutnya.
“Lima kali dalam dua bulan dan ini yang paling besar banjirnya,” ujar Amirullah, menatap air yang belum juga surut.
Lebih dari sekadar mengganggu rutinitas, banjir telah melumpuhkan kehidupan. Fasilitas umum seperti rumah pintar, sekretariat adat, bahkan ruang kelas SD, kini berubah fungsi menjadi tempat pengungsian.
Lantai yang biasa digunakan untuk belajar, kini dialasi tikar dan tumpukan baju kering. Sementara, dindingnya menyimpan bau lembab yang menusuk.
Ternak warga seperti ayam dan bebek banyak yang hanyut. Peralatan pertanian rusak. Laptop dan dokumen penting milik sekolah ikut lenyap. Banjir tak hanya merendam benda, tapi juga hampir menghanyutkan harapan.
“Kerugiannya besar. Ternak habis, alat pertanian rusak, fasilitas umum lumpuh,” tutur Amirullah.
Kampung Inaran yang terdiri dari tiga RT dengan 186 kepala keluarga dan 594 jiwa, kini terpaksa berpencar ke berbagai tempat pengungsian seadanya.
Gedung serbaguna, sekretariat PKK, bahkan rumah-rumah warga yang lebih tinggi, semua menjadi tempat perlindungan darurat.
Namun setelah air surut, masalah tak lantas hilang. Stok makanan menipis. Penyakit kulit dan diare mulai merebak. Bagi warga yang menggantungkan hidup pada pekerjaan harian, kehilangan satu hari kerja berarti tak makan keesokan harinya.
“Yang paling dibutuhkan sekarang sembako dan obat-obatan,” terangnya.
Harapan sempat tumbuh ketika Bupati Berau, Sri Juniarsih Mas, turun langsung meninjau lokasi terdampak. Ia tak datang sendiri. Perempuan nomor satu di Bumi Batiwakkal itu membawa serta rombongan, logistik, dan janji penanganan pascabencana. Termasuk untuk Kampung Inaran.
“Saya sangat prihatin atas kondisi ini. Kami akan memastikan warga tertangani dengan baik,” ujar Sri saat menyapa warga korban banjir.
Bagi sebagian orang, banjir mungkin sekadar deretan angka dalam laporan cuaca. Tapi bagi warga Inaran, banjir adalah ujian bertubi-tubi tanpa ampun. Ia merusak, mengganggu, tapi juga menyatukan. (*)