TANJUNG REDEB – Wakil Bupati Berau, Gamalis, tampil nyentrik saat upacara perayaan Hari Jadi ke 71 Berau dan ke 214 Tanjung Redeb. Tampak gagah dengan pakaian adat suku Dayak Ga’ai, Tumbit Dayak, bersama dengan istrinya, Sri Aslinda Gamalis.
Setiap tahun, Gamalis memang selalu tampil beda dari pejabat yang lain. Namun, pakaian adat kali ini yang benar-benar mencuri perhatian seluruh tamu undangan.
Apalagi, saat dirinya duduk tegak di kursi pimpinan, saat Rapat Paripurna Hari Jadi Berau dan Tanjung Redeb, di Kantor Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Berau, Minggu (15/9/2024).
Dari penampilannya, Gamalis mengenakan baju yang berbahan dari serat kulit kayu, dalam bahasa Dayak Ga’ai dikenal Bupit Mut. Di kepalanya, tersemat topi dengan sebutan Elboung yang lengkap dengan bulu dari sayap Burung Ruai.
Lalu celananya, disebut Ging. Di lengannya juga melekat mandau atau parang dengan ukiran khas dayak dari tanah Kalimantan.
Kepada berauterkini.co.id, pria yang pernah menjabat sebagai anggota DPRD Provinsi Kalimantan Timur (Kaltim) selama 2 periode sejak 2009 sampai 2019 ini mengutarakan alasannya mengenakan pakaian khas dari Suku Dayak asli Berau.
Dikatakan, kecintaan sekaligus bentuk tindakan nyata dari pelestarian budaya lokal, mendorongnya harus selalu tampil beda dalam setiap gelaran hajatan besar di “Bumi Batiwakkal”.
“Ini sebagai cara kita untuk melestarikan kekayaan suku dan budaya asli Berau,” kata Gamalis.
Langkah kecil seperti itu, menurutnya, akan sangat efektif untuk mengenalkan kekayaan budaya tanah Borneo. Memberikan rangsangan terhadap minat wisata orang yang bisa penasaran dengan pakaian yang dikenakannya.
“Kita kenalkan ini dan kita harus bangga memiliki keragaman budaya ini,” ucapnya.
Pria kelahiran Tanjung Redeb, 11 November 1966 ini mengungkapkan, Berau memiliki keunikan tersendiri.
Sebab tiga suku asli, baik dari Dayak, Bajau hingga Banua, dapat hidup berdampingan dengan rukun. Ditambah dengan berbagai macam suku nusantara yang juga turut menjadi bagian penting dari pembangunan di Berau.
Gamalis berlaku adil. Semua suku asli sudah dikenakannya selama menjabat sebagai wakil kepala daerah di Berau. Mulai dari Bajau, Banua hingga Dayak pada tahun ini.
“Gantian, semua saya pakai. Tiga tahun belakangan ini setiap Berau ulang tahun, saya selalu pakai baju adat,” katanya.
Pesannya kepada setiap instansi di daerah, harus bisa menerapkan cara serupa untuk tetap menjaga budaya yang bisa kehilangan eksistensinya bila tidak dilestarikan.
Bila hal tersebut telah membudaya, secara otomatis masyarakat pada umumnya akan turut andil untuk menjadikan kebudayaan sebagai gaya hidup.
“Diberikan contoh dulu, nanti warga Berau pasti akan ikuti,” tukasnya. (*)