TANJUNG REDEB – Terlindungi regulasi pemerintah, buaya, predator puncak muara berenang senyap di bawah riak air.

Keberadaannya bagai mimpi buruk yang mengintai nyata. Tak jarang, kemunculannya berubah menjadi tragedi yang merenggut nyawa. Dilema pun mencuat: dibunuh, penjara menanti; dibiarkan, nyawa melayang.

Kabid Kedaruratan dan Logistik Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Berau, Nofian Hidayat, menjelaskan, dari Januari sampai Mei tahun ini, setidaknya sudah ada tujuh kali kejadian serangan buaya.

“Enam kali serangan korbannya selamat, dan 1 serangan buaya korbannya tidak ditemukan. Data itu untuk tahun 2025 saja,” katanya.

Sementara, untuk penampakan buaya di sekitar pemukiman juga cukup banyak. Setidaknya delapan kali di beberapa wilayah. Namun, kendati kemunculan buaya itu menjadi bom waktu, warga tak bisa berbuat banyak.

Mereka tak tahu harus berbuat apa. Sementara, mayoritas warga beraktivitas di sekitar sungai dan tepi pantai untuk mencari penghidupan sehari-hari.

“Di sana dilemanya. Karena buaya ini dilindungi undang-undang, tapi di sisi lain mengancam nyawa,” paparnya.

Serangan buaya kepada manusia terjadi tidak hanya di tahun ini. Di tahun-tahun sebelumnya, serangan predator purba tersebut juga cukup banyak.

Berdasarkan data yang dihimpun, sejumlah serangan buaya terjadi di beberapa kecamatan di Bumi Batiwakkal. Di Kampung Cepuak, Kecamatan Talisayan, korbannya ditemukan meninggal dunia. Lalu, Kampung Tembudan, Kecamatan Batu Putih, korban tidak ditemukan.

Selain itu, di Pegat Batumbuk, Kecamatan Pulau Derawan, korban tak ditemukan. Sedangkan, di Tasuk dan Melati Jaya, Kecamatan Gunung Tabur, korban juga meninggal dunia.

Adapun korban yang selamat dari serangan buaya juga cukup banyak. Salah satunya warga Talisayan yang diserang pada Minggu malam (25/5/2025).

“Ini yang harus dipikirkan bersama. Karena serangan buaya bukan pertama kali terjadi,” paparnya.

Namun, untuk saat sementara ini, satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah selalu waspada ketika berada di sekitar sungai atau di dalam air.

Ada beberapa hal yang bisa dilakukan, yakni hindari berenang, memancing, atau menepi di sungai/rawa yang dikenal jadi habitat buaya. Waspadai area perairan yang jarang disentuh manusia atau bertanda peringatan.

“Harus selalu waspada. Jangan biarkan anak-anak main terlalu dekat tepi sungai atau rawa,” katanya.

Untuk antisipasi kolektif, pasang pagar atau barikade di area rawan (pakai kawat atau kayu kuat), pasang lampu penerangan yang cukup di tepi air.

Adapun tanda-tanda keberadaan buaya, seperti gelombang kecil di air yang aneh meski air tenang, terlihat mata menyala atau timbul-tenggelam di permukaan, dan ada bekas jejak atau gesekan besar di tepi air (biasanya malam hari).

“Buat papan peringatan jelas di lokasi umum. Paling tidak warga sudah tahu jika di lokasi itu ada buaya,” pungkasnya. (*)