SAMARINDA – Mereka berdiri di depan kelas setiap hari, tapi tak punya kepastian untuk bertahan hidup. Para guru honorer di SMA dan SMK negeri se-Kalimantan Timur kini memasuki bulan keenam tanpa sepeser pun honor sejak awal 2025. Dua kali Lebaran mereka lalui, tetapi gaji tak kunjung dibayar.

Beban makin berat saat IdulAdha. Uang sewa rumah menunggak, sepeda motor terancam ditarik leasing, dan anak-anak mereka harus mulai menunggak SPP. Semua itu terjadi saat pemerintah justru gencar menggembar-gemborkan program sekolah gratis.

“Kalau begini terus, bisa-bisa mereka kehilangan tempat tinggal, kendaraannya ditarik, dan anak-anak mereka terancam tak bisa sekolah,” keluh Ketua Forum Solidaritas Pegawai Tidak Tetap Honorer (FSPTTH) Kaltim, Wahyudin, Selasa (17/6/2025).

Honor yang seharusnya diterima guru honorer itu sekitar Rp4,8 juta per bulan. Tapi alih-alih menerima haknya, banyak dari mereka tak punya dokumen legal seperti SK atau SPK. Tanpa itu, mereka tak bisa menggugat, tak bisa menuntut, bahkan sekadar menagih pun tak punya dasar.

“Tanpa SK atau SPK, mereka tidak punya dasar kuat untuk menuntut haknya. Ini masalah serius,” tegas Wahyudin.

Di beberapa sekolah, memang ada honor yang sudah dibayarkan, seperti di SMK 10 Samarinda. Tapi jumlah itu tak sebanding dengan puluhan sekolah lain yang belum mencairkan sepeser pun. Ketimpangan itu membuat para guru makin resah dan bingung harus berharap ke mana.

Ironi lainnya, bukan hanya guru yang terdampak. Petugas kebersihan, keamanan, dan penjaga sekolah juga bernasib sama. Sebagian dari mereka sudah dialihkan ke pihak ketiga atau sistem outsourcing, namun tetap harus menunggu berbulan-bulan tanpa kepastian pembayaran.

“Kami belum punya data pasti, tapi jumlah tenaga honorer yang terdampak diperkirakan cukup banyak. Sayangnya, belum semua instansi terbuka terkait data itu,” ujar Wahyudin.

Di tengah kekacauan ini, slogan “pendidikan gratis” yang selalu digembar-gemborkan oleh Gubernur Rudy Mas’ud terdengar hambar. Di lapangan, wali murid masih dimintai berbagai pungutan, sementara para guru harus menutupi rasa malu karena tak mampu menjelaskan rincian biaya.

“Kalau disebut sekolah gratis, ya harusnya betul-betul gratis. Jangan guru dan murid yang justru kebingungan,” pungkas Wahyudin. (*)