TANJUNG REDEB – Mustura menyalakan lampu LED 40 Watt saat azan magrib tanda berbuka puasa berkumandang bersahut-sahutan. Setelah membatalkan puasanya dengan dua potong kudapan, pria paruh baya itu kembali menyusun songkok di lapak jualannya.

Bersama lima cucu dan keponakannya, Mustura menggelar enam lapak berjejer menjajakan songkok khas dari berbagai daerah. Ada dari Jawa, Bugis, Arab, dan ada juga songkok dari negeri jiran Malaysia.

Mobil pikapnya diparkir tepat di belakang lapak. Kendaraan itu digunakan untuk mempermudah mengangkut ratusan tudung kepala alias peci alias songkok. Tergantung di mana tempat penyebutannya. Stok songkok itu ia bawa dari Jalan Dr Soetomo, tempat ia bermukim bersama keluarganya.

Sudah sepuluh tahun terakhir, keluarga itu memanfaatkan bahu jalan untuk menjajakan songkok asal Surabaya dan Sulawesi Selatan. Namun Mustura baru aktif berjualan di Jalan Jendral Sudirman lima tahun belakangan ini.

Dengan kegigihannya saat berjualan, Mustura bercerita bahwa dirinya merupakan pendatang dari Tanah Madura, tempat dia habiskan masa mudanya. Saat memasuki usia senja, ia mendorong diri untuk merantau berjualan kopiah di Surabaya, yang menjadi produsen kopiah nasional bertetanggaan dengan Kabupaten Gresik, tempat pabrik songkok berdiri.

Sejak 2004 ia sudah aktif berdagang, menjajakan perlengkapan ibadah umat muslim. Dagangan yang laris manis saat hari besar keagamaan seperti Ramadan dan Idulfitri. Ia berjualan kala itu di Pasar Wonokromo, Surabaya Selatan, Jawa Timur.

“15 tahun saya di sana, jualan di Wonokromo,” cerita Mustura, pria renta berusia 78 tahun itu.

Pada 2019, ia terdorong mendatangi keponakan dan cucunya yang sudah berjualan songkok di Berau sejak 2015. Sepuluh tahun kelompok keluarga pedagang ini berjualan di lokasi pusat ekonomi Berau, memanfaatkan trotoar jalan, membuka payung, dan alas terpal lengkap dengan lampu untuk dijadikan lapak dadakan saat Ramadan.

“Kalau saya baru lima tahun, ikut keponakan sama cucu di sini, saya gak punya anak,” ujar pria bersongkok yang menggunakan baju kotak-kotak itu.

Dari obrolan sekitar sepuluh menit itu, Mustura bercerita banyak tentang masa mudanya yang dihabiskan di kampung halaman hingga setengah abad lamanya.

Entah apa yang mendorongnya untuk merantau, namun yang pasti Mustura memiliki tekad agar di masa tua tidak terlalu memberatkan sanak familinya. Ia memutuskan untuk tetap berjualan, berusaha agar kantong ia isi sendiri.

“Saya cuma punya keponakan, mereka sangat baik,” tutur dia.

Lebih dari sepekan Ramadan ini, Mustura telah aktif berjualan songkok berbagai model. Ia jual dengan harga yang bervariasi, tergantung model. Termahal harganya Rp200 ribu, songkok recca khas tanah Bugis. Termurah ia jajakan dengan harga Rp25 ribu, songkok kain jaring yang juga cocok untuk dipakai salat bagi umat muslim. Omzet yang mereka kelola hingga puluhan juta.

“Kalau songkok Bugis ini, ada yang kirim juga, ponakan saya yang urus,” ujarnya.

Lapaknya tergelar di Jalan Jendral Sudirman, di samping Masjid An-Nuur, masjid kebanggaan warga Muhammadiyah. Punya nilai sejarah sebab merupakan saksi sejarah bertumbuhnya Bumi Batiwakkal hingga saat ini.

Ia bersama dengan lima cucu dan keponakannya, bekerja sama setiap hari menyiapkan lapak. Urusan listrik mereka dibantu oleh pemilik rumah toko yang berada di belakang lapaknya. Tutup saat sore hari, kesempatan dirinya mengambil kawasan untuk mencari untung.

“Alhamdulillah setiap hari ada saja yang beli di lapak kami,” sebutnya.

Kawasan itu cukup strategis, penyambung kawasan ke pusat ekonomi di Berau, di kawasan tepian dan masuk ke pasar lama di Jalan P Diguna hingga Milono. Setiap hari para warga yang hendak berjajan takjil ramai berlalu lalang.

Saat malam hari, ramai para muslim yang hendak beribadah salat tarawih rutin saat Ramadan. Dimulai saat azan Isya berkumandang, hingga sekitar pukul 21.00 WITA saat muslim pulang selesai salat tarawih.

“Kan ada juga yang simpan stok untuk lebaran, ada juga yang mau punya baru,” tuturnya.

‘Tak ada rezeki yang tertukar’, keteguhan prinsip bisnis Mustura. Ia yakin apapun yang dijual dengan cara halal akan membawa berkah, sehingga semua umat akan mendapatkan rezeki sesuai porsinya yang diatur Allah SWT.

“Ramai saat Ramadan, alhamdulillah ada aja yang beli,” tuturnya.

Biasanya, ia menyebut pembelian akan menurun saat 21 Ramadan. Namun ia meneguhkan diri akan berjualan hingga akhir Ramadan. Sebab, minat untuk membeli kopiah akan muncul juga jelang Idulfitri nanti, satu paket biasanya dengan pembelian pakaian muslim baru.

“Sampai akhir Ramadan, kami masih terus jualan,” kata Mustura mengakhiri obrolan dengan awak media ini yang membeli songkok khas anak pesantren seharga Rp60 ribu. (*)