TANJUNG REDEB – Menjamurnya coffee shop atau kedai kopi di Kabupaten Berau menjadi tren yang bertumbuh setidaknya dalam tujuh tahun terakhir.

Sebagai entitas bisnis, kedai kopi masuk dalam kategori Wajib Pajak (WP) karena masuk dalam bagian 11 objek pajak. Khususnya, pada objek pajak barang dan jasa tertentu (PBJT). 

Pajak tersebut dibayarkan oleh konsumen langsung melalui tempat usaha, seperti kedai kopi.

Berdasarkan data Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Berau, saat ini, tercatat sebanyak 286 restoran dan cafe yang beroperasi di Bumi Batiwakkal. 

Sebanyak 222 di antaranya telah tercatat memiliki nomor objek pajak daerah (NOPD). Sementara sisanya, 64 usaha makan dan minum tak memiliki nomor target objek pajak.

Kepala Bapenda Berau, Djupiansyah Ganie, menjelaskan, berdasarkan aturan yang berlaku, setiap kedai kopi masuk dalam kategori PBJT. Hal itu termaktub dalam UU Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.

“Jelas masuk dalam objek pajak,” kata Djupi, sapaannya, Kamis (22/5/2025).

Dia membeberkan, pada tahun ini, pemerintah menargetkan pendapatan pajak dari objek pajak PBJT sebesar Rp36 miliar. Hingga triwulan pertama 2025, realisasinya sebesar 16 persen atau setara Rp5,76 miliar.

Namun, target itu tak melulu bersumber dari kedai kopi dan restoran. Terdapat sumber lain seperti pajak makanan perusahaan catering dan konsumsi yang diadakan melalui kegiatan pemerintah.

“Itu kami pungut semua,” tegas dia.

Saat ini, dia mencontohkan, usaha kedai kopi seperti Warung Kopi Pagi Sore (WKPS) yang beroperasi di Jalan Durian III dan Jalan Teuku Umar, menjadi salah satu wajib pajak yang kooperatif dalam aturan pajak.

Bahkan, setiap kali diminta mempresentasikan nilai pendapatan dalam kurun waktu setahun, manajemen WKPS selalu terbuka.

“Kalau WKPS memang kami akui, pengusahanya jujur,” sebut Djupi.

Dirinya menyebut, tren pertumbuhan coffee shop di Berau dibarengi dengan perubahan perilaku konsumsi masyarakat yang jarang menikmati kopi di rumah. Namun memanfaatkan kopi yang disajikan langsung oleh barista di setiap kedai kopi.

“Sekarang lebih simpel. Dan memang kecenderungan itu ada. Itu kami lihat sebagai potensi usaha,” terang dia.

Lebih lanjut, dia menerangkan, pemerintah tak akan ujug-ujug menawarkan penarikan pajak sebesar 10 persen kepada para pengusaha kedai kopi.

Pihaknya terlebih dahulu memantau perkembangan kedai kopi tersebut selama enam bulan demi memastikan usaha tersebut memiliki sistem keuangan yang maksimal.

Sebab, pemerintah memahami, beberapa usaha nampak laris manis pada awal dibuka. Namun, ujungnya tak berlangsung lama, bahkan kurang dari enam bulan.

“Jadi tidak mungkin di tengah modal yang belum kembali, kami harus menarik pajak ke pengusaha kopi itu,” terang dia.

Dirinya menyebut, pihaknya melakukan upaya preventif dalam memastikan setiap pelaku usaha taat membayarkan pajak ke daerah.

Meskipun, dalam Perda Nomor 6/2021 tentang Pajak Daerah disebutkan, pihak yang tak taat pajak akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda yang dihitung berdasarkan nilai pajak dari objek pajak tersebut.

“Semua kami data dan kami berikan edukasi terkait dengan pentingnya pembayaran pajak untuk pembangunan daerah,” tegas Djupi. (*)