DERAWAN – Mata Shiho Nishii berbinar-binar sewaktu melihat kalender. Hanya dalam hitungan hari, waktu cutinya tiba. Perempuan yang bekerja sebagai perawat di Rumah Sakit Osaka University, Jepang, itu bahkan sudah memesan tiket pesawat.
Shiho berencana mengunjungi sejumlah destinasi wisata bahari di kawasan Asia Tenggara. Hari-harinya yang selalu sibuk untuk bekerja akhirnya bisa ia tinggalkan barang sejenak.
Beberapa hari kemudian, pada 2010, Shiho bersama ratusan wisatawan sudah di dalam kapal Panunee Yacht. Kapal pesiar berbendera Thailand itu berlayar menuju perairan Berau.
Kapal ini punya belasan pemandu wisata. Seorang pemandu wisata di kapal bertugas memimpin satu rombongan pelancong yang terdiri dari lima orang.
Di atas kapal, mata Shiho tiba-tiba bertemu pandang dengan seorang pemandu wisata dari kelompok turis yang lain. Panjang ceritanya tapi tahu-tahu saja mereka sudah berkenalan.
“Nama saya Nishii. Shiho Nishii dari Jepang,” ucap Shiho memperkenalkan diri dalam Bahasa Inggris.
“Saya Edi. Pemandu wisata dari Berau, Indonesia.”
Kapal pesiar pun tiba di Berau. Para turis bergegas menuju Pulau Derawan. Shiho dan Edi sempat beberapa kali mengobrol. Keduanya rupanya sama-sama suka menyelam. Sayangnya, Edi bukan pemandu rombongan Shiho. Mereka hanya sempat bertukar nomor telepon.
“Sejak saat itu, kami mulai sering menelepon dan berkomunikasi,” tutur Shiho Nishii didampingi suaminya, Edi Sustiansyah, 44 tahun.
Keduanya menceritakan kisah tersebut kepada kaltimkece.id jejaring Berauterkini.co.id di kediaman mereka di Kampung Pulau Derawan, Kecamatan Pulau Derawan, Kabupaten Berau, Ahad, 27 Oktober 2024.
Liburan Shiho selama lima hari di Pulau Derawan berakhir sudah. Ia pulang ke negaranya dan kembali sibuk dengan pekerjaan di rumah sakit.
Sama seperti kebanyakan orang-orang Jepang yang dikenal pekerja keras, Shiho punya waktu kerja yang terbilang “gila.” Ia bisa bertugas dari pagi hingga jauh malam.
Waktunya pun habis tersita di rumah sakit sementara hari liburnya sedikit. Tubuhnya sering terasa penat.
Cara Shiho mengusir lelah itu bukan dengan menonton anime atau membaca manga. Ia tidak terlalu suka keduanya. Kepalanya hanya dipenuhi dengan kegiatan menyelam di lautan dan bertemu ikan-ikan.
Membayangkannya saja sudah membuatnya bahagia. Lelahnya pun untuk sementara sirna.
Pantai dan laut memang cinta pertama Shiho. Anak sulung dari dua bersaudara di keluarga Nishii ini lahir dan besar di Kyoto. Shiho sewaktu kecil sering diajak berlibur ke tempat kakeknya di Perfektur Mie.
Rumah kakeknya itu tidak jauh dari pantai. Di situlah ia jatuh cinta dengan samudra dan keindahan bawah laut.
Shiho tinggal di Kyoto bersama orang tuanya sampai berusia 20 tahun. Ia kemudian hidup mandiri seperti kebanyakan anak di Jepang yang sudah dewasa. Shiho menamatkan sekolah perawat lantas diterima bekerja di rumah sakit di Osaka sekitar dekade awal 2000-an.
Sayangnya, di kota industri itu, Shiho tinggal jauh dari laut. Makanya, ketika cuti tiba, Shiho selalu memilih berwisata ke laut.
Ia mula-mula ke Pulau Okinawa yang menjadi ikon wisata bahari di Jepang. Shiho belajar menyelam di sana. Tahun-tahun berikutnya, Shiho sudah melanglang dunia.
Paspornya sudah tercatat masuk ke India, Filipina, Malaysia, Australia, Maldives, hingga Indonesia. Ia juga memegang lisensi dive master atau sekelas pemandu selam.
Dari semua pantai yang ia datangi, Shiho ingin kembali ke satu tempat; Kepulauan Derawan.
Setahun setelah kedatangan yang pertama, Shiho pergi ke Pulau Derawan lagi. Lawatan keduanya pada 2011 ini sudah berbeda. Pemandu wisatanya adalah kenalan lamanya, Edi Sustiansyah, lelaki yang lahir dan besar di Pulau Derawan. Mereka sudah baku janji untuk bertemu di kemudian hari.
Benih-benih cinta yang ditabur melalui jalur telepon selama setahun terakhir pun tumbuh dan bermekaran. Di antara jernihnya air laut Pulau Derawan yang disukai koloni penyu, Shiho dan Edi menulis kenangan mereka yang tak terlupakan.
Edi setiap hari mengantar Shiho menyelam untuk mengambil gambar terumbu karang serta ikan-ikan dengan kamera makronya. Tanpa terasa, keduanya menjadi sepasang kekasih.
“Kami sama-sama penyelam, jadi cocok,” tutur Shiho agak malu-malu ketika diwawancarai.
Edi juga disebut orang yang ramah dan suka berbicara to the point. Kepribadian seperti itu, katanya, jarang ditemui dari laki-laki Jepang yang kebanyakan pemalu kepada perempuan.
Keduanya kemudian memutuskan menikah pada 2018, setahun sebelum pandemi Covid-19. Shiho mengurus dokumen untuk perkawinan di konsulat kedutaan Jepang di Surabaya. Ia dan Edi menikah di Kantor Urusan Agama Tanjung Redeb, Berau. Resepsinya diadakan di Pulau Derawan.
Edi memang lahir di pulau seluas 44,6 hektare tersebut pada 1981. Lulus dari SD, ia melanjutkan pendidikan di sebuah SMP di Tanjung Redeb lalu SMA di Tanjung Selor, Bulungan, kini Kalimantan Utara.
Edi kemudian bekerja di sebuah resor di Pulau Sangalaki selama tiga tahun. Di pulau konservasi penyu tersebut, ia banyak bertemu turis asing dan mulai belajar bahasa Inggris. Edi lantas menerima panggilan kerja sebagai pemandu wisata di kapal pesiar dengan status tenaga lepas. Di sanalah ia bertemu jodohnya.
Melahirkan, Pandemi, dan Pulau Derawan
Setelah menikah, Shiho Nishii tinggal bersama suaminya di Pulau Derawan pada 2019. Ketika mulai berbadan dua, Shiho memutuskan pulang ke Jepang untuk melahirkan di sana. Rencananya, Shiho pulang terlebih dahulu lalu Edi yang menyusul.
Rencana itu berantakan. Pandemi yang tidak pernah diramalkan melanda seluruh dunia. Edi tidak bisa menyusul istrinya. Shiho Nishii, yang baru saja melahirkan di Jepang, tidak bisa ke mana-mana juga. Edi hanya bisa melihat anak laki-lakinya lewat panggilan gambar dan suara.
Edi baru bertemu putranya setelah pandemi berakhir. Anak laki-lakinya itu sudah berusia dua tahun. Bersama ibunya, Edi membawa mereka ke Pulau Derawan. Mereka pun tinggal di sana sampai hari ini.
Shiho dan Edi menetap di sebuah rumah dekat Masjid Jami Al Ikhlas, Pulau Derawan. Pekarangan rumah mereka adalah pasir putih yang selalu bersih dari dedaunan. Sebuah warung kecil berdiri di muka rumah.
Dinding rumah tersebut terbuat dari kayu yang dicat biru, punya kolong, serta beratap seng. Sementara itu, pohon kelapa berbaris di belakang rumah.
Anak laki-laki Edi dan Shiho Nishii dimasukkan ke PAUD Qalbu Salim, beberapa ratus meter dari rumah mereka. Shiho juga sudah mualaf. Ia sering bercakap-cakap dengan anaknya menggunakan bahasa Jepang. Sementara kepada suami dan keluarga suaminya, ia berbicara bahasa Inggris dicampur sedikit bahasa Indonesia.
Indra Mahardika adalah kepala Kampung Pulau Derawan. Ia mengatakan bahwa Edi adalah salah seorang warga yang merupakan pemandu profesional diving di Pulau Derawan.
Banyak wisatawan mancanegara yang berkunjung ke pulau tersebut dipandu menyelam oleh Edi. Adapun istri Edi, Shiho Nishii, disebut sebagai ibu yang baik dan ramah.
“Kami tentu menyambutnya dengan hangat karena telah menjadi bagian dari penduduk setempat,” terang Indra.
Shiho Nishii mengamini hal tersebut. Ia mengatakan bahwa penduduk Pulau Derawan amat ramah. Kapan saja dan di mana saja, ia selalu disapa. Shiho juga senang tinggal di Pulau Derawan karena tidak memiliki musim dingin.
Bagi orang yang berasal dari negara empat musim sepertinya, musim dingin adalah hal yang tidak disukai.
“Orang di sini (Indonesia), kalau dengar salju, selalu ingin melihat dan memegangnya. Padahal, orang Jepang banyak yang tidak suka salju dan musim dingin. Itu musim yang tidak enak,” katanya menyebutkan shock culture yang ia temui.
“Juga soal mandi. Orang-orang (di Indonesia) terbiasa mandi air dingin. Jarang sekali pakai shower apalagi mandi di pemandian air panas seperti di Jepang,” sambungnya seraya tertawa karena menyebutkan kebiasaan di kampung halamannya.
Shiho mengaku sesekali rindu dengan negaranya. Kangen yang paling tak tertahankan adalah urusan makanan. Kuliner Indonesia dan Jepang sangat berbeda. Hampir tidak ada mirip-miripnya kecuali nasi.
Shiho terkadang ingin mencicipi sukiyaki, takoyaki, sushi, maupun ramen. Ia pernah membeli beberapa makanan Jepang di Indonesia. Walaupun mirip dipandang, katanya, rasanya tidak persis sama seperti di Jepang.
Pulau Derawan kini menjadi rumah baru Shiho. Ia betah di sana. Suatu hari nanti, sambungnya, ia ingin mengajar bahasa Jepang jika anak-anak di pulau tersebut tertarik.
Saat ini, Shiho masih terus memperlancar bahasa Indonesia-nya. Jika sudah mahir berbahasa Indonesia, ia tentu lebih mudah mengajarkan bahasa Jepang.
“Suami saya tinggal di sini, di Pulau Derawan. Kalau ada yang bisa saya lakukan untuk kampung ini, tentu saya lakukan,” sambungnya.
Alasan di balik semua itu disebut karena cintanya kepada laut, kepada suaminya, maupun kepada putranya. Perasaan itu sukar dijelaskan dengan kata-kata. Jika bisa digambarkan, seluruh cinta Shiho adalah sedalam-dalamnya lautan yang sudah ia selami. (*)
Reporter: Felanans
Editor: Felanans