TANJUNG REDEB – Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur (Kaltim), menuding pemerintah pusat sengaja membikin konflik horizontal antara sesama masyarakat, dalam kasus pemberian izin pertambangan bagi organisasi masyarakat (Ormas) Keagamaan.

Diketahui, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), telah meneken Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Tujuannya, tercatat dalam pasal 83 A ayat (1), menyebutkan Dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat, WIUPK dapat dilakukan penawaran secara prioritas kepada badan usaha yang dimiliki oleh organisasi kemasyarakatan keagamaan.

Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK), merupakan hak yang diberikan kepada ormas keagamaan di wilayah bekas Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).

Menurut Dinamisator Jatam Kaltim, Mareta Sari, langkah tersebut merupakan kekonyolan pemerintah dalam menerjemahkan kesejahteraan bagi masyarakat.

Sebab, sejak dahulu Bumi Borneo ditambang oleh perusahaan legal maupun penambang ilegal, kesejahteraan hanya mengisi ruang kekayaan para konglomerat tambang. Bahkan, justru berdampak buruk terhadap ruang lingkungan hidup masyarakat.

“Ini kekonyolan pemerintah dalam menyejahterakan rakyatnya,” kata Mareta, kepada berauterkini.co.id, di kantornya, (6/6/2024)

Selain tidak menjaminkan kesejahteraan, menurutnya, kebijakan presiden tersebut akan menjadi letupan konflik di tengah masyarakat.

Bila dahulu masyarakat adat melakukan perlawanan kepada perusahaan tambang, kini harus dihadapkan dengan konflik antara sesama umat beragama.

Menilik watak masyarakat, dikatakan, ormas keagamaan akan menyambut baik rencana tersebut. Tapi di sisi lain, masyarakat adat justru menginginkan keberlangsungan hutan yang saat ini masih dijaga kelestariannya.

“Bahkan gesekan antara sesama umat beragama itu sangat rawan,” tegasnya.

Belum lagi tanggung jawab perusahaan tambang pasca menambang. Menurut data Jatam Kaltim, terdapat 44 ribu lubang tambang di Kaltim yang tidak direklamasi oleh perusahaan.

Angka tersebut setengah dari jumlah keseluruhan lubang tambang di Indonesia yang mencapai 80 ribuan lubang tambang.

Dimana, lubang-lubang menganga tersebut telah menelan banyak korban yang meninggal di lubang tambang.

Catatan Jatam Kaltim, Sejak tahun 2011 hingga 2024, 47 orang telah meninggal dunia di lubang tambang di Kaltim. Sebagian besar korban adalah anak-anak dan remaja dan hanya 7 orang dewasa.

Belum lagi kasus kriminalisasi masyarakat, penggusuran masyarakat adat, infrastruktur yang rusak akibat aktivitas pertambangan, lalu bencana alam dan potensi kerugian lainnya yang dirasakan langsung oleh masyarakat.

“Dari catatan itu, dari mana kita bisa nilai sejahteranya. Justru kita bangkrut dari aktivitas itu,” tekannya.

Dewasa ini, pemerintah seharusnya dapat memberikan pendidikan kepada masyarakat secara utuh, untuk bisa sejahtera melalui industri yang terbarukan dan tidak merusak alam.

Termasuk pula memastikan perekonomian masyarakat dapat terangkat melalui peluang usaha yang lebih ramah lingkungan, termasuk pengembangan UKM.

“Jadi tidak masuk akal pemerintah memajukan ekonomi rakyat lewat tambang untuk ormas keagamaan,” katanya.

Mareta tegas menyampaikan, pemerintah mesti menyambut aturan anyar tersebut dengan tidak mengelabuhi masyarakat dengan kata manis ‘kesejahteraan’ lewat sektor pertambangan.

“Pemerintah harus mencabut itu PP, karena sangat rawan dengan konflik,” tegasnya. (*)

Reporter : Sulaiman

Editor : s4h