JAKARTA – Setiap kali pesta demokrasi digelar, negara harus merogoh kocek dalam. Pemilu serentak 2024 tercatat menelan biaya hingga Rp71,3 triliun, belum termasuk anggaran pemungutan suara ulang (PSU) yang diperkirakan menyentuh Rp1 triliun.

Anggota Komisi II DPR RI, Eka Widodo, menilai biaya tersebut tidak efisien dan sangat membebani APBN. Ia menyebut e-voting sebagai solusi paling masuk akal untuk menekan pengeluaran negara dan mempercepat proses pemilu secara menyeluruh.

Ia memaparkan bahwa logistik fisik dan penghitungan manual selama ini menyumbang beban terbesar dalam setiap pemilu. Dengan digitalisasi, efisiensi anggaran bisa diwujudkan, sembari meningkatkan keandalan dan akurasi penghitungan suara.

“Anggaran ini naik 57,3 persen dibanding Pemilu 2019,” ujar Edo dikutip Antara, Jumat (9/5/2025).

Tak hanya dari sisi efisiensi, penggunaan e-voting juga diyakini dapat memperbaiki transparansi pemilu. Sistem ini memungkinkan pengawasan secara real-time, baik oleh pemilih maupun pengawas independen, yang selama ini tidak optimal dalam sistem manual.

Edo juga menilai bahwa e-voting merupakan langkah logis dalam konteks pembangunan infrastruktur digital nasional. Ia menyebut bahwa transformasi digital di sektor pemilu adalah bagian dari visi Making Indonesia 4.0 yang tertuang dalam Keppres Nomor 17 Tahun 2018.

“Dalam rangka menghadapi revolusi industri 4.0, berbagai sektor pemerintahan, termasuk penyelenggaraan pemilu harus adaptif berbasis digital,” tegasnya.

Ia pun menyambut positif wacana penerapan e-voting yang sempat dilontarkan Wakil Menteri Dalam Negeri Bima Arya dalam rapat bersama Komisi II DPR. Menurutnya, pelaksanaan e-voting pada 2029 tidak boleh lagi menjadi sekadar rencana.

“Kita bisa belajar dari negara-negara yang sudah sukses dengan e-voting seperti Amerika Serikat, Australia, India, Brasil, dan Estonia,” imbuhnya. (*)