TANJUNG REDEB – Kepala Kampung (Kakam) Batu Putih, Krisdiyanto, dan PT Yumna Tiga Bersaudara digugat secara perdata di Pengadilan Negeri (PN) Tanjung Redeb atas dugaan penguasaan dan pemanfaatan tanah secara sepihak. Menanggapi hal itu, kuasa hukum mereka, Sahrudin, angkat bicara dan menyebut klaim penggugat keliru serta tidak berdasar.
Gugatan tersebut diajukan oleh Deysi Engliana, yang mengklaim bahwa lahan yang kini disengketakan merupakan milik orang tuanya, Edy Gunawan. Namun, menurut Sahrudin, klaim tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
“Jika melihat serangkaian penjelasan yang dijadikannya petitum di Pengadilan Negeri Tanjung Redeb, apa yang diklaim penggugat menurut kami keliru,” ujar Sahrudin, didampingi stafnya, Hendrawan.
Ia menjelaskan, orang tua Edy Gunawan dahulu merupakan manajer PT JEK, perusahaan perkayuan yang beroperasi sejak tahun 2001. Jalur pengangkutan kayu menuju tongkang melewati jalan dan lahan yang kini disengketakan. Namun sejak tahun 2013, perusahaan itu berhenti menggunakan jalur tersebut karena beralih ke sektor perkebunan kelapa sawit.
Gugatan yang dilayangkan mencakup tiga objek sengketa: jalan, lahan sesuai Surat Keterangan Pendaftaran Tanah (SKPT), dan logpond atau tempat penurunan kayu ke tongkang.
“Objek pertama, yakni jalan, pada awalnya tidak memiliki akses langsung ke logpond. Jadi, klaim penggugat atas akses jalan itu sudah sangat keliru,” tegas Oyong, sapaan akrab Sahrudin.
Ia menyebut bahwa pada masa itu masyarakat sempat diberi tali asih sebesar seribu rupiah per meter pada tahun 2001 untuk tanam tumbuh yang terkena jalur jalan tersebut. Namun perjanjian menyebutkan jika perusahaan tutup, maka lahan dikembalikan kepada pemilik. Karena sudah menjadi jalan umum, Pemerintah Kampung Batu Putih kemudian mengambil alih pengelolaannya.
“Jalan ini sekarang dikelola oleh pemerintah kampung dan bukan untuk kepentingan pribadi Kepala Kampung. Apalagi, jalan ini juga digunakan oleh masyarakat umum,” jelasnya.
Terkait objek sengketa kedua, lahan seluas 50.000 meter persegi, Oyong menyebut SKPT milik penggugat cacat prosedur. SKPT tersebut diterbitkan pada 2001 oleh kepala kampung sebelumnya, bukan oleh kliennya.
“Jika SKPT itu sah, harusnya mengacu pada SK Gubernur Tahun 1995 yang mengatur batas maksimal penguasaan lahan hanya 2 hektare. Tapi dalam SKPT ini justru tercatat 5 hektare. Ini jelas tidak sesuai aturan,” ungkapnya.
Ia juga mempertanyakan prosedur penerbitan SKPT karena ditandatangani oleh camat, bukan pihak yang berwenang sebagaimana mestinya.
“Jadi SKPT itu cacat prosedur dan bentuk lahannya juga tidak sesuai. Itu kami lihat dari sketsa yang ada,” tambahnya.
Sementara untuk objek sengketa ketiga, yaitu logpond, Oyong menegaskan bahwa logpond tersebut ditimbun dan dikelola oleh pemerintah kampung, bukan oleh kliennya secara pribadi.
Namun demikian, pihaknya tidak ingin terlalu jauh berkomentar karena logpond merupakan aset pemerintah kampung, sehingga penjelasan lebih lanjut menjadi kewenangan Bagian Hukum Sekretariat Kabupaten (Setkab) Berau.
Ia pun membantah isu yang menyebut kliennya memanfaatkan jabatan untuk kepentingan pribadi.
“Itu tidak benar. Logpond ini dikelola oleh pemerintah kampung dan tidak diperjualbelikan. Hasil sewa tidak pernah masuk ke rekening pribadi, semuanya masuk ke rekening resmi kampung di Bank Kaltimtara. Kami punya bukti itu,” tegasnya.
Oyong juga menjelaskan bahwa PT Yumna Tiga Bersaudara hanya sebagai pihak penyewa logpond dan telah membayar sesuai ketentuan. Selain Yumna, ada juga perusahaan lain yang menyewa logpond, namun namanya belum dapat disebut karena masih dalam proses persidangan.
“Kami akan buka nama perusahaan lain itu saat sidang. Yang jelas, penyewaan dilakukan resmi oleh pemerintah kampung,” jelasnya.
Ia menambahkan bahwa penggugat juga tidak memiliki alas hak atas logpond tersebut. Tidak ada bukti kepemilikan yang sah, baik berupa surat atau dokumen pendukung lainnya.
“Tiga objek sengketa dalam perkara nomor 47 sama sekali tidak ada hubungan hukumnya dengan Krisdiyanto sebagai pribadi. Begitu pula PT Yumna, mereka hanya sebagai penyewa, bukan pemilik atau penguasa tetap,” katanya.
Ia juga menegaskan bahwa lahan yang tidak digarap selama tiga tahun otomatis dikembalikan ke negara, sebagaimana aturan berlaku.
“Apalagi ini hanya SKPT, bukan sertifikat hak milik. Jadi klaim penggugat tidak punya dasar yang kuat,” pungkasnya. (*)