TANJUNG REDEB – Hampir dua bulan sudah destinasi Pulau Kakaban ditutup untuk umum. Sebab, ubur-ubur langka yang jadi ciri khas Kakaban tidak lagi muncul ke permukaan. Selama dua bulan itupun para peneliti melakukan uji laboratorium. Hasilnya masih dugaan sementara.

Pada Minggu (18/2/2024) lalu, tim telah merilis hasil uji lab atas dua sampel yang telah dikumpulkan. Terdapat beberapa dugaan sementara yang ditelurkan dari hasil uji lab tersebut.

Pengawas Ahli Muda Lingkungan Hidup Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Berau, Ibrahim Nur, mengatakan atas pengambilan sampel pertama pada 28 Desember 2023 oleh pihak akademisi, masih membutuhkan beberapa sampel lanjutan untuk mengetahui penyebab berkurangnya jumlah ubur-ubur di pintu masuk utama menuju Danau Kakaban tersebut.

“Karena sampel yang pertama tidak cukup. Jadi, harus ada beberapa sampel lanjutan yang dibutuhkan untuk mengetahui hasilnya. Meskipun saat ini hasilnya juga masih sementara,” bebernya, Senin (19/2/2024).

Adapun sampel pertama yang diambil oleh tim yang dibentuk Pemkab Berau yakni, pH air, dissolved oxygen (DO) atau oksigen dalam air dan suhu air.

Tiga unsur itu yang sangat memengaruhi kehidupan di Danau Kakaban. Meski danau tersebut luasnya mencapai 500 hektare (Ha). Namun sampel pertama diambil hanya pada satu titik pada pintu masuk utama.

“Bisa saja saat banyak pengunjung, ubur-ubur sedang bermigrasi ke sebelah utara. Sebab, di sisi utara masih banyak ubur-ubur dewasa maupun anakan,” jelasnya.

Sampel kedua diambil pada 10 stasiun atau titik di Danau Kakaban. Tidak hanya 3 unsur saja, tapi lebih dari pada itu. Meskipun dirinya tidak menyebutkan detail yang jelas sampel kedua dilakukan penelitian lebih mendalam.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 22/2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, normalnya kadar nitrat pada danau hanya 0,008 mg per liter dan kadar phosfat sebesar 0,015 mg per liter.

Sedangkan pada sampel kedua di Danau Kakaban ditemukan kandungan nitrat sebesar 0,25 mg per liter pada titik 1A. Sementara, lainnya normal. Untuk phosfat sebesar 0,42 mg per liter pada titik 5B.

“Jadi, kalau secara keilmuan jumlah phosfat yang melampaui baku mutu itu harus diwaspadai, karena dikhawatirkan nutrifikasi,” terangnya.

Meningkatnya unsur hara di danau akan menyebabkan pada blooming algae atau ledakan populasi alga. Sehingga, matahari tidak bisa masuk sampai ke dasar air, karena diserap oleh alga.

DO pada air bisa terganggu dan itu dapat memengaruhi, bahkan mengganggu ekosistem di dalam danau tersebut. Saat ini blooming algae memang tidak terjadi.

“Secara umum, berdasarkan hasil laboratorium hanya kadar nitrat dan phosfat saja yang berubah,” ujarnya.

Dalam hal ini, pihaknya juga akan mengusulkan pengadaan alat data logger atau alat elektronik yang digunakan untuk mencatat data dari waktu ke waktu yang terintegrasi dengan sensor serta instrumen. Alat itu rencananya ditempatkan pada satu lokasi yang diduga terjadi perubahan di Danau Kakaban.

“Itukan danau istimewa, sudah seharusnya diperlakukan istimewa juga. Salah satunya dengan pengadaan alat dana logger tersebut,” imbuhnya.

Diprediksi juga, bisa saja ada bahan kimia dalam tubuh wisatawan yang berenang dan larut di dalam air. Di mana bisa mengkontaminasi kandungan air dalam danau.

Kemungkinan lain yang bisa terjadi, yakni pada saat itu populasi ubur-ubur berkurang, karena sedang regenerasi dari polip atau anakan menjadi medusa atau ubur-ubur dewasa. Ini membutuhkan waktu sekitar 2-3 bulan.

Akibatnya ubur-ubur dewasa tidak terlihat oleh pengunjung. Namun yang paling dikhawatirkan, yakni kadar nitrat dan phosfatnya.

Selain itu, penyebab lain yang diprediksi adalah perubahan cuaca tahun lalu yang sangat drastis. Suhu di Berau masuk dalam 5 kabupaten tertinggi se-Indonesia yang mencapai 37 derajat.

Sementara, parameter habitat ubur-ubur hanya tahan pada suhu sekitar 28-32 derajat saja. Dikhawatirkan ubur-ubur tidak bisa teradaptasi. Akibatnya, Kakaban tidak lagi menjadi lingkungan yang memungkinkan ubur-ubur untuk hidup.

“Kejadian hilangnya ubur-ubur di danau air laut juga pernah terjadi di Danau Laut Lenmakana Misool Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat yang diduga disebabkan oleh kenaikan suhu permukaan laut,” ungkap Ibrahim.

Namun demikian, kepastian penyebab menghilangnya sebagian ubur-ubur di Danau Kakaban belum diketahui.

Oleh karena itu, penelitian tentang kondisi kualitas perairan secara menyeluruh sangat penting dilakukan, untuk mendapatkan informasi yang komprehensif tentang faktor-faktor yang menyebabkan hilangnya ubur-ubur di Danau Kakaban.

Padahal, Pemkab Berau juga telah melarang masyarakat untuk berkunjung ke Danau Kakaban, karena masih ditutup sementara, tapi masih ada saja yang nakal.

Masyarakat diharapkan lebih peka terhadap nasib danau purba tersebut. Jangan sampai habitat ubur-ubur di sana lenyap dan tidak bisa kembali lagi.

“Karena sebelumnya, kehidupan di sana terisolasi. Setiap tekanan dari luar yang langsung maupun tidak langsung tentunya mempengaruhi kehidupan. Jadi, sekarang harus berhati-hati,” tekannya.

Adapun saran dari akademisi untuk terus memonitoring perkembangan Danau Kakaban dan menerapkan SOP kepada para pengunjung. Wisatawan yang datang atau pulang dari sana harus dalam keadaan bersih.

Dibukanya destinasi wisata unggulan Pulau Kakaban itu, ke depan akan melalui pintu masuk utara yang telah disiapkan oleh Disbudpar Berau.

Sebelumnya, Kepala Bidang (Kabid) Pengembangan Destinasi Wisata Disbudpar Berau, Samsiah Nawir, menuturkan pihaknya bakal membuat SOP dan pembatasan pada Pulau Kakaban. Hal itu masih dikaji pihaknya untuk segera diterapkan.

Terkait pintu masuk baru yang berada di Utara Pulau Kakaban juga sudah selesai dibangun. Peresmian akan dilakukan jika SOP dan pembatasan pengunjung telah selesai dikaji.

“Kita harap bersama, destinasi wisata Pulau Kakaban ini bisa pulih seperti dulu. Kami juga mengimbau kepada pengunjung untuk sama-sama menjaga keasrian alam dan habitat ubur-ubur tidak menyengat itu,” harapnya. (*)

Reporter: Sulaiman/Diva

Editor: s4h