BERAU TERKINI – Kemeriahan pesta adat di Kampung Dumaring, Kecamatan Talisayan, Kabupaten Berau, mendadak berubah menjadi suasana mencekam. Di tengah acara tradisi tolak bala, sang kepala adat, Asri, harus berhadapan langsung dengan maut, ketika seekor buaya besar menerkamnya di Sungai Bakil.

Peristiwa itu terjadi sekitar tahun 2021. Meski sudah berlalu beberapa tahun, cerita tersebut masih lekat di ingatan warga Dumaring. Kini, Asri yang masih menjabat sebagai kepala adat, menceritakan kembali detik-detik menegangkan yang hampir merenggut nyawanya.

“Waktu itu sore menjelang magrib. Kami sedang melaksanakan prosesi adat membuang syarat adat ke sungai, seperti yang biasa dilakukan setiap tahun,” kenangnya.

Sebagai ketua adat, Asri melaksanakan sendiri prosesi itu. Ia berjalan pelan menuju tepi Sungai Bakil, memastikan langkahnya aman di antara bebatuan licin. Namun, sesaat setelah prosesi selesai dan ia berbalik, tebasan kuat dari ekor buaya menghantam punggungnya. Tubuhnya terpental dan jatuh ke sungai.

Tanpa sempat bereaksi, seekor buaya berukuran sekitar empat meter langsung menyambar tangan kanannya. Hewan buas itu menyeret Asri ke dasar sungai. Dalam kondisi gelap dan sesak napas, ia hanya bisa pasrah.

“Waktu itu saya pikir sudah habis umur. Saya tidak bisa berbuat banyak, hanya menunggu apa yang terjadi,” ucapnya pelan.

Namun di tengah kepanikan, ia teringat pesan leluhur: “Kalau digigit buaya, colok matanya atau pegang ekornya sampai patah.” 

Dengan sisa tenaga, Asri mencoba mencari kepala buaya, lalu mencolok matanya sekuat tenaga.

“Buayanya hitam, besar sekali. Saya berusaha naik ke punggungnya sambil terus mencolok mata,” tuturnya.

Setelah pergulatan sekitar lima menit di dalam air, gigitan buaya akhirnya terlepas. Asri berenang sekuat tenaga menuju tepi sungai. Tapi belum sempat bernapas lega, seekor buaya lain kembali menyergap. Kali ini, kakinya yang menjadi sasaran.

“Kaki saya digigit, mau dibawa masuk ke sungai. Saya pegang batu di tepi sungai dan menendang mulutnya pakai kaki kiri sampai lepas,” kisahnya.

Warga yang mendengar teriakan segera datang memberi pertolongan. Asri berhasil diselamatkan, meski luka di tangan dan kakinya cukup parah. Hingga kini, bekas gigitan itu masih terlihat jelas.

“Alhamdulillah sekarang sudah sembuh, tapi kalau angkat berat kadang terasa kram,” katanya.

Asri mengatakan, warga Dumaring memang sudah terbiasa hidup berdampingan dengan buaya. Dua sungai besar yang mengapit kampung mereka, Sungai Bakil dan Sungai Dumaring, memang dikenal sebagai habitat alami reptil tersebut.

Sejak peristiwa itu, warga menjadi jauh lebih berhati-hati. Pemerintah kampung pun telah memasang peringatan agar tidak berenang atau beraktivitas terlalu dekat dengan sungai, terutama saat sore menjelang malam.

“Sekarang semua orang di kampung sudah tahu, kalau di Sungai Bakil jangan main air. Di situ buaya-buaya besar tinggal,” ungkap Asri.

Potongan gambar warga Talisayan yang diterkam buaya.
Potongan gambar warga Talisayan yang diterkam buaya.

Tiga Serangan, Nol Solusi

Sampai saat ini, konflik antara manusia dan buaya di Kabupaten Berau masih terjadi. Tahun berganti, tapi kisah pilu yang sama masih terdengar dari tepi sungai. Tentang tubuh yang hilang, jeritan keluarga, dan bayang maut yang muncul dari air yang tenang.

Ironisnya, belum ada solusi dan langkah konkret dari pemerintah untuk menyelesaikan konflik yang terjadi.

Sepanjang 2025, tercatat tiga serangan buaya terjadi. Dua serangan terjadi pada April dan Juni lalu di Kampung Kasai, Kecamatan Derawan. Korbannya bocah 10 tahun bernama Holif Fatur dan Ayong (52) hingga saat ini belum ditemukan. Hilang ditelan arus dan rahang buaya yang datang tiba-tiba.

Sementara, serangan buaya di Kampung Talisayan terjadi pada Mei lalu. Nasib baik masih berpihak pada korban.

Ia selamat setelah jaring ikan yang dipasangnya malam itu menjadi penghalang antara dirinya dan buaya yang menerkam.

Namun, keberuntungan satu orang tak mampu menenangkan rasa takut yang kini membayangi banyak warga. Di Kasai, suara air sungai yang dulu akrab kini terasa menegangkan.

Rentetan serangan buaya di Kampung Kasai itu menimbulkan trauma sendiri bagi pihak keluarga dan masyarakat sekitar. Bagi mereka yang tinggal di bantaran sungai, setiap langkah menuju air kini disertai doa agar bisa pulang dengan selamat.

“Itu adalah kejadian memilukan dan kami selalu ingatkan warga untuk hati-hati. Karena sebagian besar masyarakat Kasai tinggal di tepi sungai,” ujar aparat Kampung Kasai, Andi Anas, Jumat (10/10/2025).

Menurutnya, imbauan demi imbauan tak berhenti disampaikan. Tapi, kehidupan tak bisa berhenti. Sungai tetap menjadi nadi bagi warga. Tempat mereka mencari ikan, mandi, mencuci, sekaligus hidup berdampingan dengan predator ganas.

“Sebenarnya semua warga sudah tahu kalau sungai di Kasai banyak dihuni buaya muara. Kami tidak bisa melarang mereka beraktivitas di sungai karena sebagian besar pekerjaan warga mencari ikan,” jelasnya.

Tragedi hilangnya warga Kasai akibat serangan buaya kini menjadi pengingat kelam. Nama Ayong dan Holif, sesekali terdengar di antara cerita masyarakat, sebagai bentuk peringatan bahwa ancaman masih mengintai dari bawah sungai.

“Semoga saja kejadian itu yang terakhir di Kasai. Jangan ada lagi warga yang jadi korban,” terangnya.

Situasi serupa juga dirasakan warga Kampung Talisayan. Namun, sampai sekarang belum ada solusi yang diberikan selain imbauan waspada.

Kepala Kampung Talisayan, Ali Wardana, mengatakan, buaya sering terlihat berkeliaran di sekitar pantai. Pihak kampung bahkan telah memasang papan informasi peringatan dan berkali-kali mengimbau warga agar mengurangi aktivitas di perairan yang rawan buaya.

“Masyarakat sebenarnya sudah tahu. Tapi sulit untuk melarang karena mereka sudah terbiasa menjala dan memancing di sana untuk kebutuhan hidup,” paparnya.

Sebagai langkah antisipasi, pihak kampung akan berkoordinasi dengan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Timur untuk mencari solusi terbaik.

“Kami akan minta arahan dari BKSDA, apakah ada cara efektif menangani buaya itu. Karena buaya termasuk hewan yang dilindungi,” jelasnya.

Meski sempat mencuat kabar beberapa warga mengusulkan agar buaya yang kerap muncul dan mengancam nyawa dibunuh, Ali mengaku belum tahu soal itu.

Namun, dirinya berharap ada solusi konkret yang diberikan pemerintah agar serangan buaya tidak kembali terjadi.

“Itu dilema juga. Satu sisi buaya dilindungi, tapi di sisi lain membahayakan warga. Harapannya ada perhatian serius dari Pemkab Berau agar kasus seperti ini tidak terus berulang,” ujarnya.

Proses pencarian anak 10 tahun yang hilang diterkam buaya oleh warga Kasai, Rabu (02/4/25). Foto: Istimewa.

Pada 21 Maret 2025, seorang warga Kelurahan Gunung Tabur diduga disergap buaya saat memandikan ayam di tepi sungai. Akibat serangan itu, tangan kiri korban mengalami luka koyak akibat gigitan predator.

Kejadian ini pun mendapat perhatian dari pemerintah setempat. Lurah Gunung Tabur, Ahmad Rizal, mengatakan korban yang terluka langsung dilarikan ke puskesmas terdekat.

“Informasinya yang menyerang buaya. Korban mengalami luka di tangan kiri dan langsung dibawa ke puskesmas untuk pengobatan,” katanya.

Menurut Ahmad Rizal, keberadaan buaya di kawasan permukiman, khususnya di sekitar tepian Kelurahan Gunung Tabur, harus menjadi perhatian serius. Apalagi, hewan liar tersebut kini sudah menimbulkan korban.

“Kejadian ini harus diseriusi dan penanganan cepat. Pengawasannya harus dilakukan lebih ketat terhadap buaya-buaya yang kerap muncul di sekitar areal permukiman,” ujarnya.

Ia menegaskan, buaya adalah predator yang sangat mengancam keselamatan jiwa. Di sisi lain, status buaya sebagai satwa yang dilindungi menimbulkan dilema bagi masyarakat.

Insiden ini menjadi bukti konflik antara manusia dan buaya semakin meningkat. Menurutnya, keberadaan buaya di sekitar permukiman bisa saja disebabkan oleh rusaknya habitat alami akibat aktivitas manusia.

“Atau bahkan perkembangannya yang semakin meningkat sehingga harus mencari makanan di sekitar areal permukiman,” jelasnya.

Ia pun berharap BKSDA Kaltim dapat mengambil langkah konkret untuk mengatasi persoalan ini, mulai dari peningkatan patroli, edukasi kepada masyarakat, hingga evakuasi atau relokasi terhadap buaya yang dianggap membahayakan.

“Pengawasan yang lebih ketat tidak hanya bertujuan untuk melindungi warga dari serangan buaya, tetapi juga memastikan kelangsungan hidup satwa liar di habitat aslinya,” katanya.

Rizal menambahkan, kerja sama antara BKSDA, pemerintah daerah, dan masyarakat sangat penting untuk menciptakan lingkungan yang aman dan harmonis bagi semua pihak.

Langkah-langkah pencegahan dan penanganan cepat dari pihak berwenang sangat diperlukan demi menjaga keseimbangan antara konservasi satwa dan keselamatan warga.

“Harapannya kejadian seperti ini tidak terulang lagi,” tegasnya.

Ancaman Nyata

Korban serangan buaya di sekitar tepian Kelurahan Gunung Tabur, mengalami luka koyak di tangan kiri pada Jumat (21/3/2025). dok. Berau Terkini

BPBD Berau menilai insiden serangan buaya kepada warga yang terus berulang bukan lagi sebagai kejadian insidental, melainkan ancaman nyata terhadap keselamatan jiwa masyarakat.

Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Berau, Nofian Hidayat, menegaskan perlunya langkah sistematis dan terstruktur untuk menangani persoalan konflik manusia dengan buaya yang saat ini belum mendapatkan penanganan teknis yang memadai.

“Kami tidak bisa terus-terusan hanya bersifat reaktif. Ada korban jiwa dan ini sudah berulang. Penanganan harus dibarengi dengan kehadiran institusi teknis yang benar-benar memiliki kewenangan langsung atas satwa liar ini,” kata Nofian.

Menurut Nofian, salah satu kendala utama dalam penanganan konflik antara manusia dan buaya adalah tumpang tindih kewenangan.

Meski buaya tergolong satwa liar dan dilindungi, pengawasan dan pengelolaannya tidak berada di bawah Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), melainkan menjadi tanggung jawab Dinas Kelautan dan Perikanan Kaltim.

“Ini penting dipahami bersama. Ketika terjadi serangan buaya, masyarakat cenderung meminta BPBD atau BKSDA turun tangan. Padahal, sesuai regulasi, buaya masuk kewenangan Dinas Perikanan provinsi. Dan sampai hari ini, tidak ada personel mereka yang standby di Berau,” jelas Nofian.

Sebagai solusi jangka panjang dan bagian dari sistem mitigasi risiko, BPBD Berau mendesak agar Dinas Perikanan Kaltim segera membentuk Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) atau minimal menempatkan personel khusus di wilayah Berau.

Kehadiran personel teknis di Berau dinilai sangat krusial, mengingat karakteristik geografisnya yang didominasi perairan, seperti sungai hingga wilayah pesisir yang menjadi habitat alami buaya. Tanpa kehadiran petugas yang kompeten dalam penanganan satwa tersebut, respons terhadap insiden akan selalu terlambat dan berisiko tinggi.

“Kami butuh respons cepat. Kalau kejadian lagi, siapa yang bisa turun ke lokasi untuk evakuasi atau penanganan langsung terhadap buaya? Kami di BPBD tentu bisa bantu dari sisi kedaruratan, tapi teknisnya tetap harus oleh instansi yang berwenang. Maka dari itu, kami minta ada penempatan petugas permanen dari provinsi di Berau,” tegasnya.

Menurutnya, serangan buaya bukan soal angka statistik kejadian, tetapi menyangkut rasa aman masyarakat yang tinggal di wilayah-wilayah bantaran sungai, tempat mereka menggantungkan hidup sebagai nelayan, petani, maupun pelaku aktivitas perairan lainnya.

Buaya Besar Berkeliaran Teror Warga Melati Jaya, BPBD Berau Lakukan Mitigasi
Tangkapan layar penampakan buaya berukuran besar di sekitar pemukiman Kampung Melati Jaya.

Solusi lewat Regulasi

Pelaksana Harian Kepala UPTD Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kepulauan Derawan dan Perairan Sekitarnya (KKP3K KDPS) Dinas Kelautan dan Perikanan Kaltim, Didik Riyanto, menegaskan, konflik antara manusia dan buaya tidak hanya disebabkan oleh jumlah populasi buaya yang meningkat, tetapi juga oleh rusaknya habitat alami predator tersebut. Kerusakan hutan mangrove, ekspansi permukiman warga, serta pembangunan tambak menjadi faktor utama terdesaknya ruang hidup buaya.

“Ini sudah menjadi polemik besar antara manusia dan buaya,” kata Didik.

Solusi jangka pendek yang bisa dilakukan saat ini adalah melalui pemasangan papan peringatan dan peningkatan kesadaran masyarakat melalui sosialisasi. Namun, untuk penetapan kantong-kantong habitat buaya dinilai sulit dilakukan karena persebarannya yang luas dan tidak terpusat.

Sejumlah wilayah yang disebut sering menjadi tempat kemunculan buaya besar, antara lain Kampung Kasai, Pegat Batumbuk, Merancang Ilir dan Ulu, Tabalar Muara, Batu Putih, Talisayan, hingga Kampung Dumaring. Bahkan, di aliran Sungai Segah dan Kelay pun warga kerap melaporkan penampakan predator tersebut.

“Tindakan agresif buaya sulit dikendalikan. Mereka terbiasa memangsa ikan dan monyet di hutan mangrove, jadi saat melihat manusia beraktivitas di sungai, dianggap sebagai mangsa,” jelasnya.

Pada Mei 2025 lalu, Kepala BKSDA Kaltim, Ari Wibawanto, mengaku telah berkoordinasi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) melalui Balai Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (BPSPL) untuk memperkuat penanganan berbasis regulasi terbaru. 

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2024 tentang Perubahan atas UU Nomor 5 Tahun 1990 terkait Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, kewenangan penanganan satwa perairan, seperti buaya, lumba-lumba, dan pesut kini dialihkan ke BPSPL di bawah KKP.

Ari menjelaskan, pihaknya telah melakukan pertemuan dengan BPSPL Regional Kalimantan di Pontianak untuk memastikan transisi kewenangan berjalan lancar.

“Kami siap mendukung BPSPL, baik dari segi sumber daya manusia, sarana, maupun operasional di lapangan,” ujarnya. 

Meski demikian, BPSPL disebut masih dalam tahap persiapan menyambut mandat baru ini. “Aturan teknis dari KKP masih menunggu pengesahan, namun kami tidak mempermasalahkan. Yang penting masyarakat tetap terlindungi,” imbuhnya. 

Hingga saat ini, kedua lembaga bergerak bersama dalam evakuasi buaya, seperti di Samboja, Mentawir, dan Balikpapan.

Konflik buaya dan manusia dinilai tak lepas dari tumpang tindih habitat buaya dengan aktivitas masyarakat. 

“Sungai-sungai di Kaltim, terutama daerah muara, adalah habitat alami buaya. Saat air pasang, mereka bisa menyebar ke pemukiman,” jelasnya.

Ia menekankan, upaya sosialisasi terus dilakukan untuk mengingatkan warga agar lebih waspada beraktivitas di wilayah rawan. Pemasangan papan peringatan di pinggir sungai menjadi salah satu langkah preventif. Meski jumlah buaya di penangkaran BKSDA mencapai ribuan ekor, dia menyatakan belum dapat menyimpulkan adanya overpopulasi.

“Ini lebih ke persoalan ruang hidup buaya yang tergerus, sehingga mereka terkonsentrasi di area tertentu,” ujarnya. 

Data Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) hingga 2023 juga masih menetapkan buaya sebagai satwa dilindungi, sehingga pemanfaatan komersial, seperti kulit, hanya boleh dilakukan pada hasil penangkaran generasi F2 atau keturunan ketiga.

Ari mengakui, evakuasi buaya bukan solusi tuntas. “Kami tidak mungkin terus memindahkan buaya ke penangkaran yang sudah penuh. Masyarakat perlu beradaptasi, memahami bahwa mereka hidup berdampingan dengan satwa liar,” tegasnya.

Ia juga menyoroti perlunya regulasi khusus dari KKP untuk mengoptimalkan peran BPSPL ke depan. Sementara itu, upaya kolaboratif terus dijalankan.

“Jika ada laporan, tim gabungan BKSDA dan BPSPL langsung turun. Pemerintah tidak boleh diam saat warganya terancam,” pungkasnya. (*)