Reporter : Sulaiman
|
Editor : Suriansyah

TANJUNG REDEB – Sengkarut urusan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) di wilayah Kabupaten Berau kian menjadi sorotan. Hal ini diprediksi bisa mengancam investasi di “Bumi Batiwakkal”.

Sebab, hingga saat ini belum ada kejelasan ihwal langkah pemerintah dalam menetapkan aturan baku penentuan Nilai Perolehan Objek Pajak (NPOP).

Koordinator Forum Peduli Masyarakat (FPM), Rudi Rusdinar, menyampaikan keberatannya atas langkah tidak serius pemerintah tersebut.

Padahal, pihaknya telah bersurat resmi atas nama masyarakat Berau ke lembaga resmi pemerintah daerah hingga Aparat Penegak Hukum (APH).

“Kami sudah bersurat. Sudah disebar. Sampai saat ini, kami belum direspon. Padahal, ini masalah yang serius,” ujar Rudi, kepada berauterkini.co.id, Minggu (14/7/2024).

Tidak adanya kepastian atas dasar penentuan nilai BPHTB, menjadi awal dari masalah ini muncul kepermukaan.

Diakui, pada awal Januari 2024 lalu, pihaknya telah melakukan protes penentuan BPHTB di Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Berau karena sepihak.

Dimana, saat itu salah satu dari anggota forum tersebut tengah mengurus proses transaksi jual-beli sebidang tanah dan bangunan kayu.

Ketika proses tersebut berjalan, pihaknya mendapatkan konfirmasi dari badan daerah itu, terkait nilai BPHTB yang angkanya dianggap sangat besar.

Sehingga, proses jual-beli tanah antara warga tersebut pun terhambat.

Dikatakan, ketentuan dalam menilai BPHTB pada proses jual beli tanah belum jelas.

Padahal, sejatinya untuk menentukan nilai jual beli tersebut dapat menggunakan harga dari proses transaksi tanah saat jual beli berlangsung atau NPOP per meter. Dibuktikan dari akte jual beli tanah yang dimiliki oleh pemilik tanah.

“Kalau sekarang ini ‘kan tidak jelas, kami diberikan bea dengan rujukan aturan yang abu-abu,” tegasnya.

Menurut Rudi, pengenaan BPHTB dapat diberikan kepada pemilik baru, lewat aturan Undang-Undang (UU) Nomor 1 tahun 2022 dan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 7 tahun 2023 tentang Pajak Daerah, Retribusi Daerah dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.

“Rujukan aturan kami ini jelas. Tidak seenaknya ditentukan sembarangan,” terangnya.

Dalam beleid itu, Rudi menjelaskan, tidak dibenarkan tindakan penentuan BPHTB berdasarkan harga riil yang ditentukan sepihak Bapenda Berau.

Dimana, ketentuannya harus mengikuti nilai yang terkandung dalam transaksi jual beli tanah atau NPOP per meter.

“Jadi tidak bisa merujuk pada kondisi riil, harus sesuai dengan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) PBB, agar tidak ditentukan sepihak oleh Kabid Pendaftaran dan Penetapan Bapenda Berau,” terangnya.

Atas kondisi itu, Rudi bersama anggotanya di FPM yang terdiri dari masyarakat umum, RT hingga pengusaha dari Real Estate Indonesia (REI), menyatakan keberatan atas pengenaan BPHTB yang diberikan pihak Bapenda Berau.

Sehingga, pihaknya meminta agar Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Berau, hingga legislator daerah dapat merumuskan bersama langkah pembuatan aturan baku pemerintah dalam menetapkan nilai NJOP agar tidak membebani masyarakat.

“Kami minta agar elemen pemerintah memberi perhatian atas situasi ini, agar tidak muncul konflik horizontal di tengah masyarakat dan pemerintah daerah,” tegas Rudi.

Disampaikannya, peringatan kepada pemerintah daerah, agar dapat membantu masyarakat dalam menyelesaikan persoalan ini. Sebab bila tidak, akan mengancam iklim investasi di Berau.

“Ya, jelas. Kalau dibiarkan, investor pasti menilai kalau di Berau ini tidak ramah investasi, karena urusan tanah saja susah dibereskan,” tuturnya. (*)