Foto: Ilustrasi HIV/AIDS
TANJUNG REDEB, – Masyarakat Berau diminta mewaspadai penyebaran penyakit HIV/AIDS. Tercatat sejak Januari-Agustus 2022, sedikitnya 17 orang yang dinyatakan mengidap HIV/AIDS di Bumi Batiwakkal. Ironisnya, ada kendala pengawasan terhadap mereka yang tertular.
Bahkan, dari puluhan pengidap penyakit ini masih ada yang bekerja pada panti pijat yang tidak ada jalinan kerja sama pengawasan dengan dinas kesehatan. Belum lagi kendala lainnya seperti koperatif ,berpindah tempat atau lainnya.
Kepala Dinkes Berau Totoh Hermanto melalui, Kabid Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Dinkes Berau, Garna Sudarsono mengatakan, ada beberapa kesulitan pihaknya dalam pengawasan dan penanganan.
“Karena saat ini, banyak sebaran panti pijat yang liar dan tidak terjangkau oleh kami. Belum lagi, pengidap yang menyediakan jasa seks komersial melalui media sosial,” jelasnya.
Seharusnya kata Garna, pihak pengelola panti pijat melaporkan ke Dinkes Berau apabila ada pekerja baru yang datang dari luar daerah. Sehingga Dinkes bisa dengan mudah melakukan pemeriksaan maupun pengawasan.
“Panti pijat yang tidak melaporkan pekerjanya, ini yang dikhawatirkan berpotensi menyebarkan virus HIV/AIDS di mana-mana,” jelasnya.
Sejak tahun 2020 lalu hingga sekarang, rata-rata penderita HIV/AIDS yang terdata usianya berkisar antara 19 tahun hingga 47 tahun. Mereka yang terkonfirmasi didominiasi pelaku pekerja seks komersial (PSK) serta perilaku ganti-ganti pasangan dalam pergaulan bebas.
Dinkes mencatat sejak tahun 2020 hingga 2022 sudah banyak 60 warga pengidap HIV/AIDS yang tersebar di berbagai wilayah di Kabupaten Berau.
Bagi pasien yang terdata, dilakukan penanganan berupa pengobatan dan pengawasan berkala.
“Mulai dari pengobatan hingga melahirkan. Itu semua dalam pengawasan kami,” katanya.
Namun hingga saat ini, pihaknya belum kembali melakukan survey dan screening ke sejumlah panti pijat. Sebelumnya, Dinkes melakukan survei bersama instansi terkait sepeti Polri, dan Satpol PP.
Sejak tahun 2019 kegiatan itu tidak dilakukan, lantaran tidak adanya anggaran. Belum lagu tahun 2020 hingga medio 2022 sempat dilanda COVID-19. Seharusnya, survei dilakukan setiap 3 bulan, atau paling lama 6 bulan. (*)