TANJUNG REDEB – Air yang dulu menjadi sumber kehidupan, kini berubah menjadi ancaman mematikan. Sungai dan laut di Bumi Batiwakkal tak lagi ramah.
Teror predator berdarah dingin terus mengintai warga yang menggantungkan hidup di tepi perairan. Terbaru, Kampung Kasai di Kecamatan Pulau Derawan kembali diguncang tragedi.
Seorang pria paruh baya bernama Ayong dilaporkan hilang, diduga diterkam buaya saat beraktivitas di sungai. Hingga berita ini diturunkan, pencarian masih dilakukan oleh tim gabungan.
Namun, ini bukan kali pertama. April lalu, seorang bocah perempuan berusia 11 tahun juga dilaporkan hilang di kampung yang sama. Tubuh mungilnya lenyap diseret buaya ke dalam air tanpa sempat diselamatkan.
Sementara di Kecamatan Maratua, ancaman juga datang dari predator laut lainnya. Seorang bocah laki-laki berusia 11 tahun mengalami luka di kaki, diduga akibat gigitan anak hiu saat dia berada di sekitar perairan Pulau Semut, Kampung Teluk Alulu.
Rangkaian insiden ini seolah membunyikan alarm keras. Predator alam mulai berkonflik dengan manusia. Sungai dan laut yang dulu menjadi ruang bermain, kini berubah menjadi medan bahaya.
Pelaksana Harian Kepala UPTD Kawasan Konservasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Kepulauan Derawan dan Perairan Sekitarnya (KKP3K KDPS) Dinas Kelautan dan Perikanan Kaltim, Didik Riyanto, mengakui pihaknya telah menerima berbagai laporan serangan tersebut.
“Habitat buaya memang berada di muara, sungai berair payau. Sulit sekali mengevakuasi mereka karena memang mereka tinggal di sana jauh sebelum kita,” ucap Didik saat dihubungi Berauterkini, Rabu (18/6/2025).
Meski menyampaikan empati mendalam atas korban, ia mengingatkan warga untuk lebih waspada saat beraktivitas di tepi sungai.
Sebab, buaya adalah predator karnivora yang dikenal sangat ganas. Mereka menyerang dengan kecepatan luar biasa jika merasakan percikan air.
Ironisnya, buaya merupakan satwa yang dilindungi hukum. Didik menyebut, Buaya Muara atau Crocodylus porosus yang menjadi pelaku sebagian besar insiden mengerikan itu, masuk dalam daftar perlindungan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999.
Untuk diketahui, selain buaya muara, beberapa jenis buaya lainnya juga dilindungi, yakni Buaya Siam (Crocodylus siamensis), Buaya Air Tawar Irian (Crocodylus novaeguineae), dan Buaya Sahul (Crocodylus novaeguineae.
“Inilah dilema terbesar. Dibunuh, melanggar hukum. Dibiarkan, bisa kembali memangsa. Kita, manusia, yang harus mengalah dan waspada,” ujarnya.
Populasi buaya yang kian masif menambah kompleksitas persoalan. Meskipun belum ada studi pasti mengenai lonjakan populasi atau faktor lain yang memicu kemunculan mereka di dekat permukiman.
“Kalau aturannya dicabut, bisa saja dilakukan pengendalian populasi. Tapi sampai saat ini, semua masih dilindungi,” katanya.
Terkait kasus anak yang digigit hiu di Maratua, Didik menyebut kejadian tersebut sebagai yang pertama di kawasan itu.
Berdasarkan informasi yang ia terima, insiden bermula saat korban tak sengaja menjaring anak hiu. Saat predator laut itu berusaha kabur, mulutnya yang bebas menggigit kaki korban.
“Karena jarak hiu dengan kaki korban sangat dekat. Informasi yang saya dapat dari Maratua seperti itu,” bebernya.
Didik pun mengimbau para pemimpin kampung di Kabupaten Berau untuk lebih masif mengingatkan warganya agar menghindari aktivitas di perairan berisiko. Terutama di sungai yang sudah diketahui menjadi habitat buaya.
“Kita tak bisa melawan mereka. Satu-satunya pilihan adalah menghindari, jauhi, dan waspadai. Jangan sampai tragedi terus berulang,” pungkasnya. (*)