DERAWAN-Kampung Teluk Semanting, Kecamatan Pulau Derawan terus bersolek. Dari yang semula kampung nelayan kini mulai merambah sebagai kampung wisata. Kampung yang berada di ujung muara Sungai Berau itu, konsentrasi pada pengembangan wisata mangrove. Sebagai upaya menjaga ekosistem hutan mangrove dan keberlangsungan hidup masyarakat setempat.
Pengelolaan hutan mangrove sebagai objek wisata dikatakan Ketua Tim Pengelola Mangrove (TPM) dimulai saat masyarakat mulai sulit mendapatkan hasil tangkapan laut akibat pembabatan hutan mangrove yang saat itu sangat massif.
“Pembukaan hutan mangrove ini membuat hasil tambak tidak maksimal. Selain itu, kawasan pesisir tanpa pelindung membuat tanggul-tanggul tambak jebol dihantam ombak. Sejak itu, warga Kampung Teluk Semanting mulai menyadari pentingnya hutan mangrove bagi keberlangsungan hidup mereka. Kesadaran untuk menjaga ekosistem mangrove mulai tumbuh,” ujar Fatur Rizal, Minggu, 20 Juni 2021.
Seiring dengan berkembangnya pengetahuan warga tentang peran dan fungsi hutan mangrove itu sendiri, sehingga proses restorasi pun mulai dilakukan. Sejumlah tambak yang ditinggalkan mulai ditumbuhi mangrove secara alami. Warga juga mulai menanami sendiri untuk mempercepat proses restorasi itu.
Kawasan ekosistem hutan mangrove di Kampung Teluk Semanting kini sudah hidup kembali. Sejumlah hewan endemik mangrove juga bertebaran dan hidup berdampingan dengan warga. Menjaga hutan mangrove tetap aman jadi penjarahan. Warga mulai terpikir mengelola potensi mangrove sebagai objek wisata pada 2017 lalu.
“Tahap awal dibangunlah jembatan tracking di hutan mangrove ini sekitar 30 meter hasil swadaya kayu-kayu bekas dari warga. Tapi karena tekad dan keseriusan warga pengembangan wisata ini terus mendapat dukungan dari berbagai pihak,” jelasnya.
Dukungan dari berbagai pihak terkait perlindungan hutan mangrove di Kampung Teluk Semanting berdampak positif terhadap peningkatan sarana dan prasarana yang ada. Termasuk panjang jembatan tracking dari yang semula 30 meter kini menjadi 1.300 meter.
Termasuk juga di dalamnya, dibangun 10 unit gazebo untuk wisatawan beristirahat. Bahkan dari luas potensi kawasan mangrove yang mencapai 761 hektar. Saat ini sudah terkelola 250 hektar. Hanya saja memang sejak di bangun sejak 2017 lalu hingga kini belum dibuka untuk umum secara resmi.
“Targetnya sih akhir 2021 akan diresmikan dan dibuka untuk umum. Karena saat ini belum ada peraturan kampung (Perkam) yang mengatur terkait retribusi masuk dan sewa,”katanya.
Mempersiapkan pengelolaan yang profesional dan juga dapat meningkatkan pendapatan asli kampung. Saat ini progres penerbitan Perkam retribusi, penguatan kelembagaan serta pengurusan izin pengelolaan kawasan dari kabupaten terus dikejar.
Termasuk juga penguatan sumber daya manusianya, sebelum nanti akan dikelola Badan Usaha Milik Kampung atau BUMK. Selain itu juga, ada penambahan sejumlah fasilitas wisata untuk pengunjung yang salah satunya glamping. Dengan adanya glamping ini, nantinya dapat dimanfaatkan wisatawan untuk berkemah.
“Kemarin baru dapat bantuan dua unit glamping dari LSM yang mendampingi kita. Kita lagi uji coba. Tapi belum untuk dikomersilkan karena itu tadi, kita belum ada dasar untuk menarik retribusi. Mudahan akhir tahun ini bisa rampung semua,” tutupnya. (*)
Editor: Bobby Lalowang