SEGAH – Kepala Kampung Tepian Buah, Surya Emi Susanti, mengajukan harapan besar kepada pemerintah agar lebih bijak menyikapi penertiban kawasan hutan di Kecamatan Segah. 

Khususnya, terhadap aktivitas warga yang sudah lama bergantung pada lahan berstatus Kawasan Budidaya Kehutanan (KBK) dan Hutan Tanaman Industri (HTI).

Menurut Emi, banyak masyarakat yang tak menyadari bahwa lahan pertanian dan perkebunan yang mereka kelola selama bertahun-tahun, ternyata masuk dalam kawasan yang dilarang untuk digarap.

Jika penertiban terus dilakukan tanpa solusi yang manusiawi, lama-lama habis semua lahan yang warganya gunakan untuk bertani dan berkebun.

“Kalau lahan kami diambil semua, siapa yang akan memenuhi kebutuhan hidup kami? Apakah Bapak Prabowo siap menanggung biaya hidup kami, nanggung sekolah anak-anak kami, dan nanggung utang bank kami?” ujar Emi, Jumat (20/6/2025).

Emi menjelaskan, mayoritas warga di hulu Sungai Berau, termasuk masyarakat Tepian Buah, sepenuhnya bergantung pada lahan untuk bertani dan berkebun.

Selama ini, pemasukan dan penghasilan warganya dari hasil pertanian dan perkebunan sawit. Apalagi, tidak lama lagi masyarakat akan panen kebun sawit. Jika kawasan itu ditertibkan, tentu masyarakat tidak bisa melakukan pemanenan.

“Apa iya pemerintah tega melakukan itu. Sama saja menyuruh anak kami putus sekolah, karena tak bisa bayar biayanya. Kendaraan kami ditarik, tak punya lagi penghasilan. Apa itu yang diinginkan pemerintah sekarang?” terangnya.

Yang jadi ironi, sebagian besar dari lahan itu berstatus KBK, termasuk lahan pemukiman mereka sendiri.

“Kalau semua dilarang, terus kami harus hidup dari apa? Lahan tempat kami tinggal saja berstatus KBK,” tambahnya.

Dia menambahkan, yang membuatnya bingung, meskipun secara administratif kawasan tersebut masuk kategori terlarang, kampungnya tetap mendapat anggaran dari pemerintah pusat.

“Artinya kan diakui. Kami ini warga negara juga. Kalau tak diakui, kenapa masih diberi dana desa?” ujarnya.

Lebih jauh, Emi juga menyinggung proyek pemerintah pusat beberapa tahun lalu yang membangun embung di atas lahan KBK di kampungnya. Namun, hingga kini warga belum bisa menikmati manfaatnya.

“Embungnya ada, tapi air irigasinya tidak sampai ke sungai. Malah sawah kami jadi kolam. Kami tidak bisa bertani,” ujarnya.

Ia pun menilai aturan soal kawasan hutan terkadang diterapkan secara tidak adil. Pemerintah bisa membangun proyek di atas kawasan terlarang, sementara masyarakat yang hanya menggarap untuk bertahan hidup justru disalahkan. Seakan-akan aturan itu hanya berlaku untuk rakyat kecil.

“Kalau rakyat yang buka lahan langsung dibilang melanggar. Tapi kalau proyek pemerintah, aman-aman saja,” katanya.

Dia juga menekankan, masyarakat selama ini tidak sembarangan membuka lahan. Justru, mereka merawat, menanam, dan menjadikannya sumber penghidupan keluarga.

“Setahu kami, siapa yang duluan membuka dan merawat hutan, dialah pemilik yang sah. Itu yang kami pegang,” tegasnya.

Untungnya, perjuangan warga Tepian Buah untuk mendapatkan pengakuan atas lahan mereka mulai membuahkan hasil. 

Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, usulan perubahan status lahan seluas 554 hektare akhirnya disetujui.

“Pak Jokowi sendiri yang menyerahkan SK-nya kepada kami di Jakarta. Itu bentuk pengakuan negara atas perjuangan masyarakat kecil seperti kami,” kenangnya.

Emi berharap pemerintah tetap membuka ruang dialog dan tidak menyamaratakan antara warga biasa dengan perusahaan besar.

“Kalau perusahaan besar membuka ribuan hektare lahan, itu silakan ditertibkan. Tapi kalau masyarakat kecil, yang menggarap hanya sekadar untuk makan dan menyekolahkan anak, tolong jangan dipersulit,” pungkasnya. (*)