Reporter : Sulaiman
|
Editor : Suriansyah

TANJUNG REDEB – Potensi polarisasi saat calon bupati hanya 2 pasang yang berbeda pandangan dan pilihan politik, menjadi salah satu bagian dari potensi konflik di masyarakat saat Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) berlangsung.

Apalagi bila situasi saat ini, publik “Bumi Batiwakkal” hanya disajikan dua pasang calon yang akan memperebutkan kursi Kabupaten Berau 1. Paling tidak situasi itu yang tergambar dalam situasi politik di Berau saat ini.

Dalam catatan Indeks Kerawanan Pemilihan (IKP) Berau 2024, polarisasi dapat terjadi dengan calon yang dipilih publik hanya dua pasang. Hal itu terekam dalam perjalanan Pilkada 2020 lalu.

Hal itu diungkapkan langsung, Natalis Lapang Wada, Koordinator Divisi (Kordiv) Hukum, Pencegahan, Partisipasi Masyarakat dan Humas (HP2H) Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kabupaten Berau.

“Kalau 3 pasang situasi akan lebih cair. Sementara, 2 paslon (pasangan calon) akan berpotensi saling ngotot,” kata Bung Natalis, saat dikonfirmasi di kantornya, Jumat (9/8/2024).

Dalam kondisi itu, tidak ada pihak yang dapat disalahkan. Sebab, para calon yang hadir lahir dari proses panjang lobi politik lintas partai.

Namun yang menjadi perhatian Bawaslu Berau, saat proses penentuan calon telah berlangsung dan masing-masing memiliki loyalis, lantas bersikap tidak dewasa dalam berpolitik.

Disebutnya, tidak dewasa dalam berpolitik, para pendukung melakukan tindakan kampanye hitam, mengelola isu Suku, Agama, Ras dan Antar golongan (SARA) dan bersikap berdasarkan sentimen pribadi.

Kondisi itu yang dapat membuat suhu politik memanas. Bahkan, tidak menutup kemungkinan memunculkan gesekan di tengah masyarakat.

“Kalau hanya sebatas mendukung tidak jadi soal, tapi kalau sentimen SARA dan Hoaks, itu yang jadi masalah,” beber pria yang pernah menempuh pendidikan di Fakultas Hukum, Universitas Mulawarman (Unmul) itu.

Sadar akan fungsinya, Bung Natalis menyebut, bahwa saat ini pihaknya telah menjalankan program yang melibatkan stakeholder Pemilihan Umum (Pemilu) di “Bumi Batiwakkal”. Mulai dari pemerintah daerah, hingga aparat penegak hukum (APH).

Para stakeholder itu diharapkan jadi motor dalam membentuk moral politik para pemilik hak suara. Menjadi bagian yang dapat memberikan pendidikan kedewasaan dalam berpolitik.

“Berbeda pilihan itu boleh, tapi jangan sampai saling bergesekan,” sarannya.

Di samping itu, para aktor dari partai politik dapat menjalankan fungsinya dalam memberikan pendidikan moral politik di masyarakat. Sejatinya, para aktor tidak hanya menyajikan pilihan saja, namun juga memberikan edukasi ke publik.

Ditegaskan, partai politik yang juga diberikan dana hibah oleh daerah, untuk bertanggungjawab secara benar dalam mendidik publik saat menentukan pilihan. Sehingga, peran parpol tidak hanya menjadikan isu sebagai komoditas politik semata.

“Itu peran penting parpol, harus memberikan edukasi ke publik,” tukas Bung Natalis. (*)