BERAU TERKINI – Dari sebuah wajan kecil, lilin, dan canting sederhana senilai Rp200 ribu, kini lahir kain batik yang menjadi kebanggaan masyarakat Berau.

Batik Rutun bukan hanya produk fesyen, tetapi juga simbol identitas daerah, sekaligus menjadi wadah bercerita tentang kearifan lokal di tanah Batiwakkal.

Pemilik usaha batik khas Berau, Roly Evanali, putri asli Talisayan, yang sejak kecil tumbuh di Tanjung Redeb mengikuti orang tuanya yang berprofesi sebagai guru.

Setelah menikah, ia sempat berpindah-pindah ke berbagai daerah mengikuti suami yang bekerja di kementerian. Pada 2013, keluarga kecil ini akhirnya kembali ke Berau, tempat asalnya.

“Ketika berkunjung ke daerah lain, saya selalu menemukan oleh-oleh berupa kain, khususnya batik. Tapi di Berau, saya merasa hal itu belum ada. Dari situlah muncul ide membuat batik khas Berau,” kenangnya.

Resmi berdiri pada Oktober 2017, cikal bakal usaha ini sudah dimulai jauh sebelumnya. Ia mulai belajar membatik sejak masih ikut suami bertugas di luar daerah. Pengetahuan dasar itu kemudian diterapkan ketika kembali ke Berau.

Tahun 2015, ia membuat batik tulis pertamanya. Dua tahun kemudian, karya tersebut diperkenalkan kepada masyarakat melalui Youth Festival di lapangan Batiwakkal.

“Sambutannya luar biasa. Banyak yang senang karena ternyata ada batik khas Berau, bahkan ada yang tertarik ikut belajar membatik,” ujarnya.

Tak berhenti pada karya awal, ia lalu mencari identitas lokal yang bisa diangkat sebagai motif utama. Setelah berdiskusi dengan berbagai pihak, pilihannya jatuh pada tanaman rutun, sayur khas yang sejak zaman keraton hingga kini kerap hadir di acara-acara adat.

Keseriusan dalam menjaga karya juga ditunjukkan dengan mendaftarkan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) untuk sejumlah motif.

“Rutun ini makanan khas Berau. Dari situlah saya terinspirasi menjadikannya motif batik,” jelasnya.

Lahirlah motif Rutun Penyu, yang sekaligus menjadi identitas dari Rumah Batik Berau. Motif ini kemudian berkembang menjadi identitas khas Berau yang membedakan dengan batik daerah lain.

Perjalanan usaha ini pun mendapat banyak dukungan, baik dari Dekranasda maupun Diskoperindag Berau. Pada 2018, ia berkesempatan mengikuti pelatihan di Balai Besar Kerajinan Batik Yogyakarta dan Pekalongan. Dari sana, kemampuannya semakin berkembang.

Awalnya, ia hanya membuat batik tulis, tapi karena permintaan terus meningkat, ia mulai memproduksi batik cap.

“Memang tantangannya di edukasi. Kita harus jelaskan bahwa masing-masing punya nilai dan proses berbeda,” ujarnya.

Namun, perjalanan tidak selalu mulus. Ia pernah menghadapi kasus ketika motif batiknya digunakan oleh pihak konveksi tanpa izin, hanya karena desainnya diunggah ke website. Dari situ ia belajar pentingnya watermark dan edukasi soal hak cipta.

Pada 2023, ia mencoba langkah baru membuat Ecoprint. Teknik ini menggunakan daun, bunga, dan pewarna alami yang ditata di atas kain, lalu diproses sehingga menghasilkan motif unik yang tidak pernah sama.

“Awalnya banyak gagal, mungkin lebih dari sepuluh kali. Tapi saya belajar dari komunitas Ecoprint Indonesia. Alhamdulillah akhirnya berhasil,” ungkapnya.

Daun khas Berau, seperti daun singkil, menambah keunikan produk ecoprint-nya. Kain serat alam seperti sutra, rayon, atau linen paling cocok digunakan. Pasar luar negeri, terutama wisatawan mancanegara, sangat tertarik dengan hasil karya berbahan alami ini.

Di balik semua pencapaian itu, tantangan terbesar adalah sumber daya manusia (SDM). Membatik bukan sekadar keterampilan, tetapi juga passion.

“Batik itu repetisi. Menggambar, mengecap, mengulang lagi. Kalau orang tidak punya passion, biasanya cepat bosan. Jadi memang membentuk SDM itu susah, banyak yang keluar-masuk,” jelasnya.

Meski demikian, usaha ini terus berkomitmen memberdayakan masyarakat melalui pelatihan yang digelar di kampung-kampung, hingga kini beberapa kelompok batik yang mulai terbentuk.

Rumah Batik Berau pun terus melebarkan sayapnya, menghadirkan wisata seni dan edukasi yang tak hanya menjaga warisan budaya, tetapi juga menginspirasi generasi untuk mencintai dan melestarikan batik sebagai kebanggaan daerah. (*)