Foto:Bupati Berau Sri Juniarsih saat melepas ekspor biji kakao ke Amerika Serikat.
TANJUNG REDEB – Kepala Dinas Perkebunan (Disbun) Berau, Lita Handini berharap kepada para petani komoditas kakao di Kabupaten Berau untuk tidak mengalihkan fungsi lahan kakao mereka menjadi komoditas lain.
Dijelaskannya, sebanyak 17 kampung sudah ditetapkan sebagai sentra perkebunan kakao sejak 2017 lalu.
Hanya saja banyak kampung yang beralih fungsi lahan menjadi perkebunan sawit, lantaran lebih mudah dibudidayakan. Targetnya tahun ini ada perluasan lahan komoditas kakao di Berau.
“Seperti di Tumbit, sebelumnya menjadi daerah pengembangan komoditas kakao karena memiliki lahan perkebunan yang luas di sana. Tapi, karena sering banjir banyak pohon kakao yang mati,” ungkapnya.
Pohon dan buah kakao menjadi banyak yang rusak dan busuk. Hingga akhirnya warga beralih menjadi petani komoditas sawit. Yang dulunya kakao menjadi primadona, sekarang sudah hilang. Tersisa sekitar 5 hektare saja.
Kendati demikian, pihaknya, memiliki wilayah pengembangan lain. Seperti, Long Lanuk, Inaran, Lesan Dayak, Nyapa Indah, Merasa, Birang, Gurimbang, Suaran, hingga Sukan Tengah.
Beberapa kampung yang tergerak untuk menanam kakao dan sudah mulai terlihat perkembangannya, yakni Lesan Dayak, Nyapa Indah dan Long Lanuk.
Pihaknya melihat ada nilai keseriusan para petani di sana untuk menanam kakao. Bahkan biji kakao fermentasi yang berasal dari Nyapa Indah berhasil menjadi juara satu ditingkat nasional.
“Makanya, kami akan terus mendukung apa yang menjadi kebutuhan para petani. Karena kakao di Berau juga sedang menjanjikan,” ucapnya.
Sejauh ini yang terluas berada di Kecamatan Sambaliung, lahannya 467,1 hektare. Padahal sebelumnya hanya sekitar 200 hektare saja dari total keseluruhan lahan kakao di Berau 1.003,80 hektare pada 2022.
Salah satunya Kampung Suaran memiliki lahan sekitar 300 hektare perkebunan kakao. Kemungkinan jika pengembangan terus dilakukan bisa mencapai 500 hektare pada petani yang eksis.
“Ekpor 15 ton yang kita lakukan beberapa waktu lalu sebagian besar berasal dari Suaran,” bebernya.
Disusul Kecamatan Gunung Tabur dengan 139 hektare, Kelay 128 hektare, Segah 126 hektare, Teluk Bayur 36,5 hektare, Biatan 32 hektare, Tabalar 30 hektare, Pulau Derawan 26 hektare, Talisayan 18 hektare, dan Batu Putih 11 Hektare.
Adapun prediksi panen dalam satu hektare bisa mencapai 900-1.000 ton per tahun. Meski diakuinya masalah kakao ini kompleks. Ada pengaruh komoditas sawit juga selain pengaruh kelembaban dan Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) tanaman kakao itu sendiri.
Sementara, sesuai arahan Direktorat Jenderal (Dirjen) Perkebunan, panen kakao diharapkan mencapai 1.500 ton per hektare per tahun. Meksi dengan luasan yang terbatas, Lita berharap, petani kakao mampu menghasilkan kakao premium dengan harga yang menguntungkan ditingkat petani.
Beberapa hal yang bisa dilakukan seperti, menggunakan teknologi yang tepat guna untuk penanganan OBT dan jamur, rehab peremajaan tanaman yang rusak hingga menghasilkan produk kakao yang sesuai permintaan pasar.
“Sekarang harga kakao sedang bagus, Rp 40 ribu per kilogram. Padahal sebelumnya hanya Rp 27 ribu saja. Permintaan pasar yang tinggi membuat persaingan harga antar komoditas,” jelasnya.
Besar harapan kampung yang ada bisa terus mengembangkan kakao dan konsisten mempertahankan lahannya.
Dibeberkannya, beberapa kampung yang tidak mungkin untuk mengembangkan sawit dipastikan bisa konsisten. Seperti, Long Lanuk, Inaran dan Merasa. Ke depan akan diarahkan menjadi petani mandiri seperti sawit.
“Tapi kami akan tetap memberikan pendampingan kalau mereka membutuhkan bantuan. Nyapa Indah tahun lalu juga sempat meminta bantuan pupuk. Serta, Suaran meminta bantuan lantai jemur dan bibit,” paparnya. (*)