JAKARTA – Tingkat optimisme generasi muda semakin menurun pada tahun 2025, ada sejumlah faktor pemicu.
Generasi muda terungkap lebih pesimistis, dibandingkan dengan generasi atau kelompok usia yang lebih tua di Indeks Optimisme 2025.
Hal itu tercermin dari hasil survei Indeks Optimisme 2025, dari GoodNews From Indonesia (GNFI) bersama GoodStats.
Hasilnya, generasi muda yakni dari kelompok umur 17-25 tahun paling pesimis dengan skor 5,45, dibandingkan dengan generasi lebih tua yang semakin optimis. Di mana, generasi tua yang berusia sekitar 46-55 tahun mencapai skor hingga 6,21.
Hal ini seperti anomali, di mana umumnya generasi yang lebih tua yang diasosiasikan realistis dan sudah lelah dalam menghadapi kenyataan ternyata justru lebih optimis.
Anak muda yang idealnya masih penuh ambisi, idealisme, dan semangat justru diliputi oleh kegamangan.
Berdasarkan dari hasil survei tersebut, bahwa generasi muda saat ini menghadapi tekanan ganda, yakni ketidakstabilan ekonomi, lapangan kerja yang kompetitif, dan ketidakpastian global.
“Mereka juga lebih kritis terhadap sistem yang dianggap gagal memenuhi harapan,” jelas survei Indeks Optimisme 2025, dikutip Berauterkini.co.id, Minggu (10/8/2025).
Hasil survei 2025 menunjukkan adanya penurunan indeks optimisme, dari yang semula, 7,77 atau masuk kategori “optimis” pada 2023 menjadi 5,51 atau kategori “netral” di 2025.
Kondisi netral merupakan situasi di mana adanya keinginan untuk tetap optimisme atau merawat harapan dalam menatap masa depan, namun di saat yang sama dibayangi oleh kekhawatiran dan ketidakyakinan.
Adapun penyebab dari penurunan indeks optimisme di tahun 2025 ini salah satunya yaitu, dipicu oleh gejolak ekonomi seperti Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), inflasi, dinamika politik, dan dampak konflik global.
Beberapa temuan kunci yang memengaruhi penurunan Indeks Optimisme 2025 ini, di antaranya sebanyak 67,6 persen responden menyaksikan atau mengalami PHK dalam 6 bulan terakhir.
Lalu 55,8 persen responden yang merasakan kenaikan harga kebutuhan pokok “sangat signifikan”, dan 33,8 persen mengaku pendapatan rumah tangga mereka menurun.
Meskipun demikian, skor yang hanya sebesar 5,51 di tahun ini, bukanlah pesimisme total, tetapi mencerminkan optimisme yang tertahan.
Di mana, masyarakat ingin percaya masa depan bisa lebih baik, tetapi realitas sehari-hari, seperti PHK, tekanan kebutuhan setiap harinya, perilaku politik praktis yang sering membuat prihatin, dan ketidakpastian globa, membuat harapan agak sulit dipertahankan.
Sementara itu, CEO GNFI, Wahyu Aji, menekankan bahwa menjaga optimisme bukan berarti menutup mata dari kenyataan. Dan ini tercermin dari apa yang disampaikan oleh responden.
Di mana 67,6 persen di antara mereka menyaksikan terjadinya PHK di sekitar mereka dalam enam bulan terakhir, 55,8 persen merasakan kenaikan harga kebutuhan pokok, di saat yang sama 33,8 persen mengaku pendapatannya menurun.
“Survei Indeks Optimisme ini sudah kami lakukan beberapa kali, terakhir di tahun 2023, untuk memetakan pada hal mana responden merasa punya harapan tinggi, dan di sektor mana optimisme terlihat menipis,” kata Aji.
Dia bilang, yang membedakan survei tahun ini adalah pendekatan kontekstual. Setiap pertanyaan tidak hanya mengharapkan jawaban cepat apakah responden optimis atau pesimis, tetapi juga memberi mereka konteks soal kondisi yang sedang berkembang.
Dengan begitu, respons yang muncul diharapkan merupakan hasil perenungan, bukan sekadar jawaban spontan.
“Kami melihat menjaga optimisme bukan berarti menutup mata dari kenyataan. Justru dari data inilah kita bisa kembali menyusun narasi optimisme yang lebih membumi,” pungkas Aji.