TANJUNG REDEB – Asosiasi Petani Sawit Mandiri mengakui masih kekurangan tenaga untuk peningkatan produksi. Poyensi anak muda yang menjadi sasaran sebagai pelaku di sektor perkebunan masih kurang diminati.

Ketua Asosiasi Petani Sawit Mandiri yang juga menjabat Kepala Kampung Labanan Makmur, Mupit Datusahlan menjelaskan saat ini harga sawit dan bisnisnya seumpama diatas awan dan harga sedang tinggi-tingginya.Namun, untuk peningkatan produksi masih sangat kurang.

Sesuai data Asosiasi Petani Sawit Mandiri, rerata kebutuhan pengelola kebun sawit berada di angka hingga 1.000 orang untuk memaksimalkan produktivitas. Tetapi, produktivitas sawit dari luasan 5-10 hektar hanya bisa mencapai 30 persen saja.

“Baik untuk mandiri maupun data yang diperoleh dari perusahaan, saat ini masih memerlukan tenaga kerja hampir 1.000 orang untuk memaksimalkan luasan tanaman sawit untuk bisa panen maksimal, tapi harus diakui memang kurang,” bebernya, Jumat (10/12/2021).

Mupit menjelaskan, masing-masing petani bisa saja memanami sebanyak 5 hingga 10 hektar, lantaran memiliki modal dan lahan. Tetapi, untuk merawat dan memanen tidak bisa mengandalkan satu orang saja.

“Ini kembali ke masalah produktivitas, memanen dan merawat, ya seperti memberi pupuk, jauh lebih sulit jika hanya dilakukan satu orang, tenaga kurang dan produktivitas rendah,” jelasnya.

Sperti di Kecamatan Segah, Mupit mendapatkan laporan, saat ini kebutuhan tenaga kerja untuk panen bisa mencapai di atas 50 orang. Peminatnya kurang, sebab jika mengandalkan orang lokal, kebanyakan sudah memiliki kebun sendiri.

Jika mendatangkan pekerja dari luar Berau, akan bertentangan dengan aturan sesuai Disnakertrans. Yakni, pekerja lokal harus memenuhi kuota 80 persen.

“Harus diakui, anak muda memilih pekerjaan yang jauh lebih mudah. Apalagi, Berau ini ibaratkan banyak sekali peluang dan persaingan masih rendah,” ungkapnya.

Mupit juga mengusulkan, mungkin seharusnya anak muda bisa mendapatkan arahan dari pemerintah untuk mengelola sistem manajerial, untuk penyediaan kebutuhan lainnya dalam pengelolaan sawit. Jika harus bekerja langsung, tentu saja kurang diminati.

“Sangat disayangkan kurang peminatnya untuk langsung dilapangan, padahal pertanian sawit sedang tinggi dan berpeluang. Ini berlaku untuk mandiri dan perusahaan, perusahaan itu juga kesulitan mencari, belum lagi harus bersertifikasi,” ungkapnya.

Sejauh ini sesuai data pihaknya, per hektar lahan hanya bisa dipanen sebanyak 2 ton. Selain SDM, pengaruhnya juga terkait bibit yang ditanami, juga pengetahuan SDM untuk perawatan. Sejauh ini, diakui pihaknya pemerintah kurang untuk memberi pengetahuan akan pengelolaan, walaupun sebagian besar kelompok tani sudah tersentuh oleh bimbingan pemerintah.

“Kalau sawit ini, sistemnya masih seperti dulu, berlomba-lomba untuk menanam, tapi tidak baik hasilnya saat panen,” tutupnya. (*)