TANJUNG REDEB – Pengelolaan dana program Corporate Social Responsibility (CSR) di Kabupaten Berau menjadi sorotan karena dinilai masih tertutup alias tidak transparan kepada publik.

Sebagai daerah yang ekonominya masih bergantung dari sektor pertambangan, keberadaan perusahaan tambang yang mengeruk emas hitam diharapkan ikut berkontribusi pada kegiatan sosial masyarakat melalui CSR.

Beberapa waktu lalu, Komisi III DPRD Kaltim juga menyoroti keterbukaan program CSR yang dinilai belum optimal di Bumi Batiwakkal.

Menanggapi hal tersebut, Dosen Perdata dan Hukum Perusahaan Universitas Mulawarman, Sulung Nugroho, mengakui, berdasarkan beberapa jurnal dan penelitian, transparansi pengelolaan dana CSR oleh perusahaan tambang di Berau memang belum optimal. 

Banyak kegiatan CSR tidak dilaporkan secara terbuka atau hanya bersifat internal. Artinya, laporan itu hanya diberikan kepada pemegang saham atau pemerintah daerah tanpa publikasi luas.

Akibat tidak terpublikasi, evaluasi publik juga tidak jalan. Akhirnya partisipasi pasar pun kurang yang berdampak memperburuk transparansi dan akuntabilitas.

Sulung menyebut, Pasal 71 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas terdapat kewajiban bagi perusahaan yang menjalankan usaha berkaitan dengan sumber daya alam untuk melaksanakan tanggung jawab sosial dan lingkungan.

Lewat dana CSR tersebut diharapkan bisa dilakukan recovery dampak akibat pengambilan tambang. 

“Saya ambil salah satu contoh saja, yang memang kurang transparan. Ada beberapa warga di wilayah lingkar tambang di Berau, seperti Kampung Inaran atau Kampung Tumbit Melayu. Itu mereka menyatakan bahwa mereka jarang sekali menerima informasi atau manfaat langsung dari program CSR perusahaan. Ini menunjukkan bahwa akuntabilitas publiknya perlu dipertanyakan,” ujar Sulung, Kamis (22/5/2025).

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas, ditegaskan bahwa kewajiban pelaporan kegiatan TJSL sebagai bagian dari pelaporan tahunan yang harus diakses publik. Namun, hingga kini belum ada kewajiban eksplisit untuk mempublikasikan laporan secara luas kepada masyarakat lokal.

Sulung juga menyoroti tantangan keterbukaan informasi CSR. Harus diakui, secara regulasi teknis, pemerintah daerah kurang tegas dalam mewajibkan laporan terbuka tersebut.

Tantangan lainnya adalah tidak adanya sistem pelaporan berbasis digital atau portal publik. Perusahaan cenderung melihat CSR sebagai kegiatan sukarela, bukan kewajiban sosial yang harus dikontrol publik. Padahal, publik perlu untuk melakukan kontrol tersebut.

“Padahal kita punya UU 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Itu memberikan hak kepada warga negara untuk mengakses informasi publik, termasuk yang berdampak pada kepentingan umum,” terangnya. 

Secara regulasi, ada pula Peraturan Menteri ESDM Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat. Beleid tersebut mengharuskan perusahaan tambang menyusun dokumen perencanaan PPM yang disampaikan kepada pemerintah dan dapat diminta oleh publik. 

Sulung berasumsi, banyak perusahaan tambang masih menganggap informasi CSR sebagai strategi bisnis, bukan sebagai kewajiban untuk membantu masyarakat, terutama yang mendapatkan dampak akibat aktivitas usahanya.

Dia melihat, program CSR perusahaan tambang di Berau masih cenderung Top Down, tanpa keterlibatan masyarakat lokal melalui proses musyawarah yang sistematis. 

“Dari beberapa laporan yang saya baca, masih banyak program yang bersifat jangka pendek, seperti pemberian sembako, pembangunan fasilitas yang sifatnya temporer, tanpa ada dampak keberlanjutan,” terangnya.

Dia menegaskan, Permen ESDM 25/2018 mewajibkan perusahaan tambang melibatkan masyarakat dalam pengusulan dokumen Rencana Induk Pengembangan dan Pemberdayaan Masyarakat (RIPPM).

“Ada kata rencana gitu. Jadi harusnya jangka panjang,” imbuhnya.

Sulung mengatakan, dampak ketidaktransparanan perusahaan tersebut membuat masyarakat tidak mengetahui berapa dan ke mana ada CSR dialokasikan. Sehingga hal itu bisa memicu ketimpangan sosial karena programnya hanya menyasar kelompok tertentu.

Dalam UU 23/2014, pemerintah daerah diberikan ruang untuk mengatur dan mengawasi CSR sebagai bagian dari pembangunan daerah. Artinya, pemerintah daerah harus lebih proaktif dan jangan hanya menunggu bola.

Menurutnya, banyak sekali masyarakat yang sebenarnya terbantu dengan program CSR. Namun, masyarakat lokal jarang sekali dilibatkan dalam perencanaan, sehingga seringkali tidak tepat programnya. 

“Kalau tanpa konsultasi ya tidak mencerminkan program yang dibutuhkan dan menjadi prioritas kepada masyarakat itu. Jadi, di mata masyarakat, seringkali itu distigmakan bahwa program CSR hanya bersifat simbolik dan tidak berkelanjutan,” terangnya.

Sulung juga mempertanyakan keberadaan peraturan daerah terkait CSR di Bumi Batiwakkal. Saat ini, di Berau terdapat Perda Nomor 6 Tahun 2018 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perusahaan.

“Kalau ada perda khususnya, mungkin itu bisa mengikat perusahaan secara tegas di wilayah tersebut. Sehingga pelaksanaannya itu tergantung perusahaannya,” tegasnya. 

Dia juga menyarankan pemerintah daerah membuat peraturan tentang pelaporan dan pelibatan masyarakat dalam CSR. Hal itu dimungkinkan sesuai UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. 

Sulung menambahkan, diperlukan sistem pelaporan online terbuka yang sudah dijalankan di daerah lain, seperti Kota Surabaya, Semarang, Tangerang, DKI Jakarta, hingga Jawa Barat.

Selain itu, dia juga mengingatkan keberadaan forum masyarakat sipil untuk CSR yang melibatkan LSM, toko adat, dan akademisi yang bisa dijadikan pengawas independen. Sehingga, bisa memperbaiki masalah-masalah transparansi atau akuntabilitas dana CSR tersebut. (*)