JAKARTA – Selama bertahun-tahun, banyak pencari kerja di Indonesia tersisih bahkan sebelum sempat menunjukkan kemampuan. Bukan karena kurang kompeten, tapi lantaran terhalang batas usia, tuntutan berwajah menarik, atau status belum menikah. Kini, semua itu resmi dilarang.
Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengeluarkan Surat Edaran Nomor M/6/HK.04/V/2025 tentang Larangan Diskriminasi dalam Proses Rekrutmen Tenaga Kerja. Lewat surat itu, pemberi kerja tak boleh lagi mencantumkan syarat yang bersifat diskriminatif dalam lowongan pekerjaan.
“SE ini diterbitkan untuk mempertegas komitmen pemberi kerja terhadap prinsip non-diskriminasi dan pedoman jelas agar rekrutmen kerja dilakukan objektif dan adil,” ujar Yassierli melansir CNN Indonesia, Jumat (30/5/2025).
Diskriminasi yang dimaksud bukan hanya soal usia. Penampilan fisik—sering disamarkan dengan istilah “berpenampilan menarik”—dan status pernikahan juga masuk daftar larangan.
Dalam edaran tersebut ditegaskan bahwa batasan usia hanya boleh ditulis jika benar-benar relevan secara objektif dengan karakteristik pekerjaan. Misalnya, pekerjaan yang menuntut kekuatan fisik ekstrem atau memiliki batas usia operasional.
Namun syarat itu pun tak boleh mengurangi kesempatan kerja. Pemberi kerja wajib memastikan bahwa rekrutmen tetap terbuka luas dan adil untuk semua kalangan, termasuk penyandang disabilitas.
“Larangan diskriminasi dan ketentuan persyaratan usia… berlaku sama kepada tenaga kerja penyandang disabilitas,” tertulis dalam edaran.
Surat ini ditujukan kepada seluruh gubernur untuk disampaikan ke bupati/wali kota dan pelaku usaha. Pemerintah berharap iklim rekrutmen bisa berubah: dari yang selektif berdasarkan tampilan luar, menjadi objektif berdasarkan kemampuan nyata.
Yassierli tak menutup mata bahwa praktik diskriminasi dalam lowongan kerja masih marak. Syarat “maksimal 30 tahun”, “belum menikah”, hingga “good looking” kerap muncul dalam iklan kerja, baik sektor formal maupun informal.
Untuk memperkuat langkah ini, Kementerian Ketenagakerjaan menyiapkan dua kebijakan lanjutan. Pertama, merevisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Kajian sedang berjalan agar prinsip inklusivitas masuk dalam batang tubuh regulasi nasional.
Kedua, menyusun aturan turunan sebagai pedoman teknis. Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja (Binapenta & PKK), Darmawansyah, mengatakan aturan ini akan menjadi pengikat tambahan bagi dunia usaha agar tidak kembali ke praktik lama. (*)