Foto istimewa: Lisa Erie Yani saat mengikuti komptisi East Borneo Coffee Competition, 27-30 Oktober 2022 di Samarinda

TANJUNG REDEB,- Hobi yang ditekuni, ternyata bisa memberikan banyak manfaat positif. Pertemuan Lisa Erie Yani dengan kopi, bak Pungguk yang bertemu dengan Bulan. Bukan hanya itu, nama Berau pun kini mulai diperhitungkan dalam peta perkopian Kalimantan Timur.

Tangan mungil Lisa kuat mencengkeram tuas gas motor. Rintik gerimis mampu ditepis dengan jaket tebal. Dingin sore jelang petang, tak menyurutkannya berkendara menuju Tanjung Redeb.

Perjalanan ke Ibu Kota Kabupaten Berau itu ditempuh hampir satu jam, dari Kampung Batu-Batu, Gunung Tabur. Hangatnya seduhan kopi sudah terbayang. Menyeduh, dan menyeruput kopi, jadi rutinitas perempuan yang saban harinya bertugas di puskesmas itu.

Kopi seduhan manual, atau kopi dengan saringan kertas filter, telah jadi kegemaran perempuan bernama Lisa Erie Yani. Kala menempuh pendidikan tinggi di Jogjakarta, Lisa berkenalan dengan kopi.

Awalnya mencicipi kopi susu dengan penyajian Vietnam Drip. Sajian ini lazim dinikmati penggemar kopi yang gandrung dengan kopi susu. Meningkat, perempuan berkacamata yang juga mengenakan burka itu, akhirnya memberanikan diri mencicipi kopi murni. Kopi yang hanya diekstraksi dengan air.

Selepas menamatkan kuliah pada 2019 lalu di STIKES Surya Global, Jogjakarta, Lisa pun balik kampung. Sejenak, kebiasaan meminum kopi harus ditahan. Pandemi membuat kedai yang ada di Berau tak leluasa melayani pelanggan. Apalagi, kedai yang menyajikan sajian kopi seduh manual juga masih terhitung jari.

Beruntung, pada 2020, sebuah kedai di Jalan AKB Sanipah II, Tanjung Redeb dibuka. Kedai berjenama 9Eleven (Nine Eleven) itu ternyata memberikan ruang bagi Lisa. Tidak hanya sekadar menikmati kopi, juga untuk mencoba menyeduh.

Yosep Dodie Hidayat, pria lulusan Teknik Industri Universitas Mulawarman itu baru saja mencoba peruntungan di dunia perkopian, selepas mengundurkan diri sebagai karyawan pada industri pertambangan.

“Alasannya sederhana, saya juga ingin berbagi kesempatan pada anak-anak muda di Berau yang mau belajar menyeduh, untuk belajar di kedai ini,” begitu penuturan pria penghobi gym itu tentang aktivitas Lisa yang diberinya akses ke alat seduh di kedainya.

Kesempatan belajar menyeduh ini tak disia-siakan Lisa. Bahkan dengan semangatnya perempuan kelahiran 21 Agustus 1998 itu harus pergi-pulang dari Kampung Batu-Batu ke Tanjung Redeb. Jika tugas pekerjaan tidak padat, bisa tiap hari Lisa menyambangi kedai.

Pada pagi harinya, Lisa bakal kembali memacu motornya menuju Puskesmas Kampung Merancang Ulu, tempatnya bertugas. Kampung itu sendiri bertetangga dengan tempat asal Lisa.

Kesibukan bekerja dan belajar menyeduh yang ditekuni sejak 2020 lalu itu, ternyata memberi banyak pemahaman tentang berbagai karakter kopi. Baik dari varietas arabika, robusta, ataupun yang cukup awam di pasaran, kopi liberika. Lisa akan mencoba berbagai alat seduh, juga komposisi racikan, sesuai dengan ketersediaan biji kopi di kedai 9Eleven.

Berau memang tidak punya banyak sejarah kopi. Varietas arabika yang memerlukan tempat untuk tumbuh maksimal pada lokasi 800 meter di atas permukaan laut, tentu tak bisa ditanam dengan baik di Bumi Batiwakkal.

Lain cerita dengan robusta. Meski tak memiliki syarat tumbuh dengan ketinggian tertentu, tapi varietas ini juga belum masif dibudidayakan. Petani di Berau belum melirik kopi sebagai komoditas unggulan.

Sementara di kebun masyarakat Berau, ada beberapa yang masih merawat tanaman kopi. Varietasnya pun lebih didominasi liberika. Dan ironisnya, tanaman yang ada pun selama ini tidak dirawat dengan maksimal. Kopi, juga tidak masuk dalam kategori tanaman unggulan di Berau.

Data Dinas Perkebunan Berau, hanya memasukkan kakao, kelapa sawit, karet, lada dan kelapa sebagai komoditas unggulan.
Inisiasi penggiat kopi di Berau kini telah memunculkan varietas liberika, yang dikembangkan dari kebun petani di Kampung Sumber Mulya, Kecamatan Talisayan.

Pengembangannya kini juga mulai terlihat di Kampung Sambakungan, Gunung Tabur.
Hasil olahan petani Berau inilah yang juga jadi tantangan tersendiri bagi Lisa dalam membuat sajian.

Kopi liberika sendiri sejauh ini masih kalah familiar dibanding robusta dan arabika. Hanya saja, keunikan rasa dari kopi liberika Sambakungan, masih harus dipadukan dengan keunikan aroma kopi arabika.

“Liberika hasil budidaya petani di Sambakungan, punya karakter rasa nangka yang kuat,” begitu ungkap Lisa.

Kemahiran Lisa meracik dan memadupadankan kopi liberika dan arabika, ternyata bukan tanpa dasar. Pengetahuannya di bidang farmasi, diakui lulusan SMK Farmasi Al Falah Queen, Tanjung Redeb itu, banyak membantu saat meracik kopi. Sebagai apoteker, Lisa telah banyak memahami bagaimana produk yang akan dihasilkan dari percampuran berbagai bahan kimia. Pendekatan itulah yang membuatnya mendapatkan keasyikan saat menyeduh kopi.

“Kebiasaan di laboratorium belajar tentang ekstraksi, membantu sekali saat menyeduh. Bikin kopi juga tentang bagaimana melakukan ekstraksi,” begitu ungkap Lisa.

Belajar menyeduh tiap hari, membuat sifat kompetitif pada diri Lisa terus terasah. Kesempatan berkompetisi di Berau memang jarang didapat. Hanya beberapa kali ada agenda kompetisi seduh kopi. Itu pun sifatnya hanya untuk senang-senang.

“Kompetisi kopi kan harus ada standardisasinya. Nah yang diadakan di Berau, karena hanya fun battle, jadi tidak harus dengan standar kompetisi. Memang, untuk seduh memakai filter (kertas filter) di Berau belum seramai di Samarinda atau Balikpapan. Tapi itu tak membuat saya mundur. Apalagi di sini dapat kemudahan dari Bang Yos untuk terus belajar,” ungkapnya.

Sifat kompetitif yang dimiliki Lisa inilah yang akhirnya membuatnya berani untuk ikut dalam kompetisi di tingkat regional Kalimantan Timur. Event bertajuk East Borneo Coffee Competition, 27-30 Oktober 2022 di Samarinda. Kerja keras Lisa, dan kemampuannya menyajikan hasil seduhan, membuat para juri terpukau.

Predikat juara pun digenggamnya. Bahkan, pada event yang mempertemukan perwakilan dari wilayah Indonesia Timur, Lisa kembali menunjukkan performa terbaik. Hasilnya, Lisa berhak untuk mengikuti kompetisi tingkat nasional yang akan digelar di Jakarta pada awal Mei mendatang.

“Kompetisi di Samarinda adalah pertama kali saya ikut (kejuaraan). Alhamdulillah langsung juara. Ini saya terus mempersiapkan diri untuk tingkat nasional di Jakarta,” tutur Lisa.

“Kami sangat yakin, kopi kita (Berau) punya potensi. Nanti juga akan tetap membawa kopi Berau,” ungkapnya saat ditanya alasan berani membawa kopi liberika Sambakungan dalam kompetisi.

Crowd Funding
Keberhasilan Lisa menembus persaingan nasional ini pun tidak akan disia-siakan. Saat ini, selain berlatih dengan tekun, persiapan keberangkatan ke Jakarta pun terus digenjot. Bersama Yosep Dodie, Lisa sedang berusaha mencari donatur. Berbagai instansi baik swasta maupun pemerintahan sudah coba didatangi untuk mendapatkan bantuan pendanaan. Perlu lebih kurang Rp 60 juta untuk Lisa dan tim berangkat ke Jakarta.

“Dari Berau mungkin saya sama Bang Yos, dan nanti ada tim juga dari Samarinda. Kami terus mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk bisa membawa nama baik Berau,” ungkap Lisa.

Nantinya, Lisa juga akan tetap membawakan kopi liberika Berau. Menurutnya, masyarakat luas harus bisa mengenal potensi rasa dari kopi hasil olahan petani Berau.

Abdul Rahim Ismail, petani yang mengembangkan kopi liberika di Sambakungan, Gunung Tabur, Berau, mengakui jika upaya yang dilakukan sejak 2019 lalu mulai berbuah manis. Pria yang biasa disapa Bang Ari itu turut bangga dengan pencapaian yang diraih Lisa. Terkhusus kopi liberika dari Berau, Ari juga tak memungkiri jika sejauh ini masyarakat belum banyak yang mengetahui keberadaan kopi dari Berau.

“Masyarakat tahu tentang Berau mungkin lewat Derawan atau Maratua. Tapi kopi juga bisa jadi identitas baru yang ikut mengenalkan Berau di dunia internasional. Semoga nantinya budidaya kopi di Berau bisa jadi alternatif setelah era pertambangan batu bara. Sekarang saatnya Berau menyiapkan diri untuk terus bisa mencari sumber ekonomi alternatif selain dari hasil pertambangan,” ungkapnya.(*)

Editor: RJ Palupi