TANJUNG REDEB – Begini kisah Putri Arofah mendirikan Galeri Batik di Kampung Maluang, Gunung Tabur, Berau.
Putri Arofah kini memiliki galeri batik sendiri di Kampung Maluang, Gunung Tabur, Berau.
Perempuan kelahiran 1983 itu tak pernah membayangkan, keputusan nekat menjual cincin kawin demi membeli bahan batik akan mengubah hidupnya.
Kisah itu bermula pada masa pandemi Covid-19, September 2020. Putri dan keluarganya terpapar virus mematikan tersebut. Dua pekan isolasi membuatnya resah dan bingung harus melakukan apa.
Dalam keheningan, ia teringat tumpukan kain sisa pelatihan batik di Balai Kampung Maluang. Pelatihan yang dulu hanya ia intip dari belakang ketika bertugas menyiapkan konsumsi peserta.
“Waktu itu saya tidak ikut pelatihan, hanya lihat dari jauh. Setelah selesai, saya coba mempraktikkan apa yang saya lihat,” kenangnya pada Berauterkini.co.id.

Dengan bantuan video YouTube dan modal semangat, ia mencoba membuat batik bermotif “Katulada”.
Namun, karya pertamanya tak laku. Berkali-kali mencoba, kain rusak, modal habis. Di titik itu, Putri Arofah membuat keputusan berat: menggadaikan cincin kawin.
“Dapatnya Rp3 juta. Semua saya belikan bahan batik di Solo,” ujarnya.
Keputusan itu menjadi titik balik. Perlahan, usaha batiknya tumbuh. Ia mendaftar sebagai mitra binaan Bank Indonesia Kaltim, belajar mengurus NIB, mencatat data usaha, hingga mengelola produksi dan pemasaran.
Omzetnya melonjak dari Rp3 juta menjadi Rp35 juta, lalu Rp50 juta, hingga kini stabil di angka Rp130–150 juta per bulan.
Setiap helai batik di Rumah Putri Batik Maluang punya cerita sendiri. Tidak ada yang benar-benar sama, kecuali untuk pesanan khusus seperti pakaian couple.
“Sekarang saya punya 10 karyawan. Kami pastikan setiap motif selalu ada bedanya, tidak ada yang sama,” kata Putri Arofah.
Motifnya lahir dari lingkungan sekitar mulai sungai di belakang rumah, pepohonan, hewan, hingga suasana hati.
Dari sekitar 20 motif yang sudah mengantongi HAKI, dan ratusan lainnya yang belum dipatenkan, Rumah Putri Batik Maluang mampu memproduksi 200–300 lembar per bulan, bahkan hingga 700 lembar saat pesanan membludak.
Jenis batik yang dipasarkan beragam: batik tulis, batik cap, batik kombinasi cap-tulis (caplis), hingga batik lukis berbahan sutra.

“Kami dominan batik cap karena lebih terjangkau, tapi tetap menjaga kualitas, dan juga yang menjadi ciri khas kami itu ada ukiran sungainya,” jelasnya.
Nama “Putri” bukan hanya dari dirinya, tetapi juga dari awal mula usaha yang dikerjakan oleh dirinya bersama para perempuan, termasuk ketiga anak perempuannya.
Kini, batiknya menyebar di sejumlah kota besar di Indonesia mulai dari Jakarta, Malang, Jogja, hingga Makassar dengan harga mulai Rp250 ribu hingga jutaan rupiah.
Bagi Putri Arofah, batik adalah warisan budaya sekaligus wujud cinta pada Indonesia.
“Batik itu bukan hanya kain, tapi ada kehidupan di sana. Itulah cara saya mencintai Indonesia,” tutupnya.(*\adv)