BERAU TERKINI – Sebagai satu-satunya dokter spesialis jiwa di RSUD dr Abdul Rivai, dr Melanny Widjaja menceritakan suka dukanya bertugas di Berau.

Di balik pintu bertuliskan Ruang Tulip di RSUD dr Abdul Rivai, Tanjung Redeb, Berau, seorang perempuan dengan langkah tenang tampak akrab menyapa pasien-pasien dengan gangguan jiwa.

Dia adalah dr. Melanny Widjaja, satu-satunya dokter spesialis jiwa yang bertugas di Berau sejak tahun 2011.

Selama 14 tahun mengabdi, dr. Melanny Widjaja menjadi tumpuan bagi banyak keluarga yang berjuang mendampingi anggota mereka yang mengalami gangguan jiwa.

Sebelum bertugas di Berau, ia sempat menjadi dokter jaga IGD RSAL Jala Ammari, kemudian psikiater di RSJ Mataram, dan psikiater di RSUD Bulungan.

Pendidikan formalnya meliputi dokter spesialis kedokteran jiwa (Sp.KJ) dan Magister Kesehatan (M.Kes), ditambah pelatihan nonformal seperti English Course dan Mandarin Language Course. Kini, ia aktif sebagai psikiater di RSUD dr Abdul Rivai Berau hingga saat ini.

Lulusan Universitas Hasanuddin Makassar ini mengaku awalnya memilih spesialis kedokteran jiwa karena alasan sederhana.

“Waktu kuliah saya pikir, ah biar gak jaga malam. Tapi makin dijalani, saya merasa ini menarik. Bisa membantu orang menemukan ketenangan, rasanya luar biasa,” katanya.

Dukungan penuh dari keluarga membuat dr. Melanny teguh perannya sebagai psikiater tunggal di Berau. Meski menghadapi berbagai keterbatasan, ia tetap berpegang pada satu prinsip sederhana.

“Saya hanya ingin mereka dipahami. Gangguan jiwa bukan kutukan, tapi kondisi yang bisa ditangani. Selama ada empati, mereka tetap bisa hidup dengan martabat.”

Tak hanya di rumah sakit, ia juga kerap turun langsung ke kampung di Berau bersama tim Dinkes Berau untuk menemui pasien yang tidak pernah terdata atau bahkan masih dipasung.

“Kita menyasar yang tidak pernah dilaporkan ke Puskesmas. Ada yang dirantai di teras rumah, ada juga yang dikurung di ruangan terbuka. Pernah pasien perempuan dipasung di pinggir jalan, akhirnya malah dilecehkan,” ungkapnya.

Menurutnya, penanganan pasien Orang Dengan Gangguan Jiwa atau ODGJ harus dimulai dengan deteksi dini.

Jika masih bisa dikendalikan, pasien akan diberikan psikoterapi dan psikofarmaka. Namun bila sudah membahayakan diri sendiri atau orang lain, mereka akan dirawat di Ruang Tulip.

Dia mengatakan, tantangan terbesar dalam menangani ODGJ adalah kepatuhan berobat. Banyak pasien yang berhenti minum obat karena merasa sudah sembuh, padahal penyakitnya bersifat kronis dan berpotensi kambuh.

“Kepatuhan itu yang paling berat. Obat-obatan psikotropika harganya mahal, dan tidak semua tersedia di puskesmas. Kadang juga terkendala aturan BPJS dan ketersediaan obat di kampung-kampung,” jelasnya.

Ilustrasi pelayanan petugas kesehatan bagi para ODGJ. (Internet)
Ilustrasi pelayanan petugas kesehatan bagi para ODGJ. (Internet)

Meski begitu, ia menegaskan bahwa pasien skizofrenia pun tetap bisa produktif bila rutin berobat.

“Kata sembuh total memang tidak ada, tapi dengan pengobatan teratur mereka bisa hidup normal dan bekerja,” ujarnya.

Lebih jauh, dirinya mencatat adanya peningkatan jumlah pasien ODGJ di Berau. Faktor penyebabnya beragam, mulai dari ekonomi, konflik rumah tangga, KDRT, hingga pelecehan seksual.

“Belakangan juga muncul kasus karena tekanan identitas seksual. Kita di Indonesia masih sulit menerima hal-hal seperti LGBT, dan itu bisa menjadi stressor berat bagi mereka,” ungkapnya.

Ia menilai, meningkatnya tekanan sosial dan ekonomi juga membuat banyak orang tak menyadari bahwa mereka sedang mengalami gangguan mental.

“Banyak yang datang sudah dalam kondisi berat. Padahal kalau ditangani sejak awal, tidak sampai harus dirawat,” tambahnya.

Menurutnya, kesembuhan pasien sangat bergantung pada peran keluarga dan lingkungan sekitar. Karena itu, edukasi selalu ia tekankan kepada pendamping pasien.

“Kalau keluarganya tidak bisa bekerja sama, sulit untuk sembuh. Mereka yang paling berperan mengingatkan pasien minum obat dan datang kontrol,” ujarnya.

Menjadi psikiater berarti harus mampu memahami perasaan pasien, namun tetap menjaga batas profesional.

“Kita harus berempati, tapi tidak boleh ikut larut. Kalau pasien menangis, kita tidak boleh ikut menangis. Hubungan dokter-pasien harus tetap profesional,” tegasnya.

Ditanya apakah psikiater juga butuh tempat curhat, ia tersenyum. “Ya tentu. Tapi kami mempraktikkan apa yang kami ajarkan refleksi diri, menjaga pikiran tetap sehat. Kalau dokter mentalnya tidak sehat, bagaimana mau bantu orang lain?”.(*)