SAMARINDA – Kasus doxing terhadap pendiri media daring Selasar.co, Achmad Ridwan memunculkan kekhawatiran serius di kalangan akademisi dan pegiat kebebasan pers.

Penyebaran data pribadi Awan dan istrinya di media sosial, usai ia mengunggah video kritik terhadap praktik buzzer, dianggap sebagai bentuk ancaman terhadap ruang aman jurnalis dan warga sipil di ranah digital.

Kritik Ridwan yang akrab disapa Awan ini bermula dari tindakan sejumlah akun buzzer yang membuka identitas pribadi seorang konten kreator, kingtae.life, yang selama ini dikenal vokal mengkritik pembangunan Kota Samarinda. Tak lama setelah video itu tayang di kanal resmi Selasar, Awan sendiri justru menjadi target penyebaran data pribadi oleh akun anonim.

Kondisi ini menuai respons dari berbagai kalangan. Salah satunya datang dari Ketua Pusat Studi Anti Korupsi (SAKSI) Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Orin Gusta Andini. Ia menilai aparat penegak hukum perlu mempercepat proses penyelidikan dan tak ragu menggunakan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) yang sudah disahkan sejak 2022.

Menurut Orin, jenis data yang disebarkan serta motif penyebarannya menjadi kunci dalam menentukan apakah unsur pidana dalam UU PDP terpenuhi. Bila terbukti, pelaku bisa dikenakan sanksi sesuai Pasal 67 dan 68 dalam undang-undang tersebut.

“Ini perlu diproses supaya memberi efek kejut bagi pelaku dan pelajaran bagi masyarakat agar tidak sembarangan menyebarkan data pribadi orang lain. Apalagi ini dilakukan terhadap insan pers,” ujar Orin, Senin (26/5/2025).

Masalah menjadi semakin kompleks karena sempat muncul dugaan adanya kaitan dengan pejabat publik. Dalam sebuah wawancara media, Wali Kota Samarinda membantah keterlibatan dalam kasus ini. Namun, bantahan itu justru menimbulkan spekulasi baru tentang kemungkinan motif politik di balik aksi doxing tersebut.

Orin mengingatkan bahwa lambannya penanganan justru bisa merugikan lebih banyak pihak. Bukan hanya korban, tapi juga citra pemerintah daerah dan aparat hukum. Penundaan pengusutan, menurutnya, bisa memperkuat kesan bahwa pelaku doxing mendapat perlindungan atau dibiarkan begitu saja.

“Kalau lamban diproses, ini bukan hanya menyangkut kepentingan korban, tapi juga menyangkut reputasi pemerintah. Harus diketahui apa motifnya,” tegasnya.

Ia pun mendesak agar tim siber dari kepolisian, baik di tingkat daerah maupun Mabes Polri, segera turun tangan. Keterlibatan aparat khusus akan menunjukkan bahwa negara hadir dan serius menjamin keamanan digital warganya, terlebih ketika menyangkut pekerja media.

“Seharusnya tim cyber di kepolisian daerah bisa turun tangan, atau dikoordinasikan langsung dengan tim cyber Mabes Polri,” pungkas Orin.

Di tengah menguatnya tekanan publik, komunitas jurnalis dan pegiat media menyerukan solidaritas untuk Awan. Mereka menuntut perlindungan hukum yang lebih kuat bagi para jurnalis, terutama mereka yang menyuarakan kritik dalam iklim digital yang makin tidak ramah. (*)