TANJUNG REDEB – Pemerintah daerah terus berupaya memaksimalkan potensi pajak sarang burung walet sebagai pendapatan asli daerah (PAD). Selama pandemi, sarang burung walet menjadi bisnis yang tidak terdampak.
Dikatakan Bupat Sri Juniarsih, sejak beberapa tahun lalu pihaknya cukup kesulitan dalam menggali potensi pajak sarang burung walet tersebut. Meskipun pajak sarang burung walet menjadi kewenangan pemerintah daerah.
“Peraturan penarikan pajak itu tertuang pada UU Nomor 28 Tahun 2009 tentang pajak daerah dan retribusi daerah,” ujarnya, Minggu 29 Agustus 2021.
Sri Juniarsih mengakui, akan berkoordinasi kembali bersama dengan OPD terkait. Bupati berhadap agar potensi pajak sarang burung walet bisa semaksimal mungkin masuk sebagai pandapatan asli daerah. Merujuk data Bapenda Berau, sejak 2016 realisasi pajak sarang burung walet yakni sebesar Rp 563,469 juta, lalu pada 2017 sebesar Rp 575,190 juta.
Kemudian pada tahun 2018 sempat naik sebesar Rp 790,116 juta dan naik kembali naik di tahun 2019 sebesar Rp 869,901 juta. Tetapi kembali terkoreksi pada tahun 2020 sebesar Rp 572, 706 juta.
Sejumlah potensi pajak dari sarang burung walet dapat diperoleh melalui sumber alam dan rumahan. Seperti sarang walet yang berada di goa, dan potensi tersebut banyak tersebar di daerah pesisir. Sementara di wilayah perkotaan didominasi sarang walet rumahan yang bangunannya dapat dilihat dengan kasat mata.
“Sejauh ini kami masih melakukan pendataan berapa banyak bangunan walet yang berdiri di Kabupaten Berau, untuk mengetahui berapa angka pasti yang bisa mereka dapatkan,” bebernya.
Tetapi, kata Sri Juaniarsih, yang masuk hitungan Bapenda hanya sekitar 5.000 ton dari total perkiraan potensi sebanyak 15.000 ton. Jumlah itu diperoleh dari perkiraan Balai Karantina Pertanian Kelas II Tarakan Wilayah Kerja Berau.
“Potensi paling banyak di pesisir ya, Tabalar, Talisayan dan Biatan, sosialisasi kami pun menyasar pada daerah tersebut,” ungkapnya.
Beberapa kendala penarikan didasari dari banyaknya bangunan yang tidak memiliki izin mendirikan bangunan sehingga wajib pajak mereka tidak bisa keluar, meskipun walet tergolong objek yang harus wajib pajak.
Menurutnya hal itu harus bisa dibenahi terlebih dahulu, agar penarikan pajak bisa lebih mudah. Besaran wajib pajak juga hanya sebesar 10 persen. Pemungutan pajak itu pun berlaku, jika pengusaha berhasil panen saja. Tetapi jika melakukan panen mka tidak punya kewajiban membayar pajak, tetapi tetap wajib melapor.
“Memang yang tidak menghasilkan tidak kami tarik pajak, jadi itu bukan alasan bagi masyarakat. Kalaupun untuk rumahan tidak sebesar 10 persen, tapi kami turunkan 7 persen,”pungkasnya. (*/adv)
Editor: RJ Palupi