TANJUNG REDEB – Festival Budaya Bekudung Betiung sekaligus memperingati HUT Kampung Tumbit Dayak ke-262 dimulai hari ini, begini makna prosesi adat Bekudung dan Betiung dari suku Dayak Ga’ai.
Masyarakat Dayak Ga’ai di Kampung Tumbit Dayak, Berau, Kaltim terus menjaga dua tradisi adat mereka yang penuh makna, yakni Bekudung dan Betiung.
Kepala Adat Kampung Tumbit Dayak, Muksin, menjelaskan bahwa kedua tradisi ini adalah warisan leluhur yang tidak hanya ritual, tetapi juga menjadi cerminan filosofi kehidupan yang luhur.
“Bekudung adalah bentuk rasa syukur masyarakat kepada Sang Pencipta atas hasil bumi yang melimpah, sedangkan Betiung adalah proses pendewasaan yang menuntut keberanian, keteguhan, dan tanggung jawab,” tutur Muksin pada Berauterkini.co.id, Jumat (20/6/2025).
Bekudung memiliki arti berbagi berkat atau menyampaikan rasa syukur. Tradisi ini dilaksanakan setelah musim panen sebagai ungkapan terima kasih kepada alam dan Sang Pencipta atas berkat yang diterima.
Prosesi Bekudung dimulai dengan persiapan yang melibatkan seluruh masyarakat. Hasil panen seperti padi, umbi-umbian, buah-buahan, dan hasil hutan lainnya dikumpulkan dan ditata dengan rapi di rumah sunta atau bangunan adat yang menjadi pusat kegiatan ritual.
“Pada hari pelaksanaan, seluruh warga berkumpul dengan mengenakan busana adat. Para tetua memimpin doa dalam bahasa leluhur, mengucap syukur kepada Sang Pencipta atas hasil bumi yang melimpah,” jelasnya.
Setelah doa, pukulan gong dan gendang menggema, mengiringi tarian adat yang dipimpin oleh para tetua.
Tarian ini bukan hanya hiburan, tetapi juga sarana untuk menyampaikan pesan leluhur tentang pentingnya menjaga harmoni dengan alam dan roh penjaga semesta.
Anak-anak dan remaja pun dilibatkan dalam perayaan ini untuk belajar tentang nilai-nilai kerja keras, berbagi, dan rasa syukur.

Adapun tradisi Betiung adalah prosesi inisiasi yang menandai peralihan seorang pria muda menuju kedewasaan. Proses ini melibatkan perjalanan ke hutan sebagai ujian fisik dan spiritual.
“Betiung menjadi penanda kesiapan seorang pria untuk memikul tanggung jawab baru, baik bagi dirinya sendiri maupun bagi kelompoknya,” tambah Muksin.
Prosesi adat Betiung dimulai dengan upacara pemberangkatan. Seorang pria muda yang akan menjalani Betiung dibekali dengan mandau yang merupakan senjata tradisional Dayak dan sumpit, simbol keberanian dan kearifan lokal. Sebelum berangkat, doa-doa dilangitkan untuk memohon perlindungan dan kekuatan.
“Perjalanan ini adalah ujian fisik dan mental. Di dalam hutan, mereka menghadapi tantangan yang menguji keberanian, ketekunan, dan kemampuan untuk bertahan hidup. Semua merupakan bagian dari pencarian jati diri dan makna kedewasaan,” ungkapnya.
Setelah menyelesaikan perjalanan, pria kembali ke kampung dan disambut dengan perayaan meriah. Para tetua adat mengumumkan bahwa sang pria kini telah menjadi dewasa, siap memikul tanggung jawab sebagai individu yang matang secara spiritual dan sosial.
Perayaan ini diwarnai dengan tarian bejiak dan tabuhan alat musik tradisional, melibatkan seluruh masyarakat sebagai bentuk dukungan dan kebanggaan. Muksin menekankan bahwa kedua tradisi ini memiliki makna yang dalam dan sejalan hingga kini.
“Bekudung mengajarkan untuk selalu bersyukur atas hasil jerih payah dan berkat yang diterima. Sedangkan Betiung adalah pengingat bahwa kedewasaan tidak datang begitu saja, melainkan melalui perjalanan panjang penuh pelajaran,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa tradisi ini juga menanamkan nilai-nilai kebersamaan, kerja keras, dan tanggung jawab kepada generasi muda.
“Melalui tradisi ini, kami memastikan bahwa nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh leluhur tidak hilang di tengah modernisasi. Ini juga menjadi cara kami untuk mengingatkan pentingnya menjaga antara manusia, alam, dan Sang Pencipta,” tuturnya.
Bekudung dan Betiung bukan sekadar warisan budaya, tetapi juga menjadi pedoman hidup bagi masyarakat Dayak Ga’ai. Dengan tetap melestarikan tradisi ini, masyarakat menunjukkan rasa hormat kepada leluhur, tanah kelahiran, dan kehidupan itu sendiri.
“Kami ingin generasi muda bisa paham bahwa budaya bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang bagaimana kita menjalani masa kini dengan penuh tanggung jawab dan syukur,” pungkas Muksin. (*)