TANJUNG REDEB – DPC PKB Berau mendukung wacana pemilihan kepala daerah secara tidak langsung.
Wacana pemilihan kepala daerah tidak langsung diungkapkan oleh Ketum PKB Cak Imin saat Harlah ke-27 PKB.
Ide tersebut disampaikan menyikapi Putusan Mahkamah Konstitusi yang memisahkan pelaksanaan Pemilu nasional dan lokal.
Wacana dari DPP PKB itu disambut baik oleh DPC PKB Berau, menurut Ketua DPC PKB Berau Sutomo Jabir ide tersebut tak lepas dari biaya politik Pilkada yang mahal.
Biaya tinggi tidak hanya dalam hal penyelenggaraan, namun para peserta pemilu pun mesti merogoh kocek yang dalam demi mendapatkan kekuasaan.
Kultur politik yang dinilai menghambat agenda pembangunan nasional dan daerah. Sebab para calon yang tak terpilih dibuat ‘picik kepala’, sementara yang menang fokus untuk mengembalikan modal.
“Biaya politik kita terlalu mahal, baik penyelenggara maupun untuk peserta pemilu,” kata Sutomo Jabir, Jumat (25/7/2025).
Keresahan itu menjadi topik hangat di partai. Dia mengklaim hampir seluruh partai memiliki keresahan yang sama atas wacana yang disuarakan oleh Cak Imin dalam gelaran Harlah ke-27 PKB.
Pasca pemilu maupun pilkada, calon terpilih akan disesaki oleh banyak kepentingan pihak yang terlibat langsung dalam proses pemenangan.
“Itu realitas yang kita lihat,” tegasnya.
Menurutnya dengan dipilihnya kepala daerah oleh legislator yang merupakan representasi dari suara konstituen, dianggap cukup adil ketika konsep keterwakilan tersebut diterapkan.
“Ini hanya pemikiran alternatif, bila ada gagasan lain, silahkan diberikan,” tutur dia.
Gagasan baru menurutnya sangat mendesak ketika berada dalam pertimbangan tersebut. Oleh karenanya, dia berharap para penggagas bangsa dan aktor politik di daerah hingga nasional dapa merumuskan bersama formula baru dalam menentukan kepala daerah.
“Gagasan yang baik ini akan lahir dari pembahasan yang merdeka dan terbuka,” sebutnya.
Eks calon walikota Bontang pada Pilkada 2024 lalu ini, menyatakan pembenahan tersebut telah menjadi kewajiban para aktor politik tanah air. Bila tidak bertindak, maka akan dinilai sebagai pembiaran atas nasib bangsa pada masa yang akan datang.
“Jangan sampai ada pembiaran,” tuturnya.
Berdasarkan catatan, negara mesti menggelontorkan anggaran senilai Rp38 triliun lebih untuk memberikan operasional pelaksanaan pemilu 2024 lalu. Diberikan untuk KPU, Bawaslu dan Kementerian/Lembaga terkait dengan agenda pemilu.
“Angka itu sangat besar, bagus diberikan untuk pengentasan persoalan bangsa,” ucap Sutomo Jabir.
Dia mengatakan lagi, bila terjadi perubahan skema pemilihan, perlu dibarengi dengan perubahan aturan di bawah UU 17/2007 tentang Pemilu.
Memastikan hukum positif berkesimbangan secara baik. Dengan harapan penyelenggaran tetap dilaksanakan secara langsung, umum, rahasia, jujur dan adil atau Luber Jurdil.
“Jangan sampai justru jadi lahan praktik KKN baru,” tutur dia.
Di akhir, dia menyampaikan, pasca gelaran perayaan Harlah PKB tersebut, belum ada rapat lanjutan di daerah untuk membahas sikap PKB secara nasional itu.
Namun yang pasti, wacana itu akan bergulir deras di DPR RI. Para politisi yang bertugas di kantor tersebut yang memiliki peran besar dalam agenda revisi uu pemilu.
“Itu ada di pusat, kita tunggu saja bagaimana hasilnya,” ucapnya.

Sebelumnya diberitakan, DPP PKB mewacanakan dua pola pilkada yakni pemilihan kepala daerah gubernur dan pemilihan kepala daerah bupati dan wali kota.
Dalam usulan DPP PKB itu, gubernur dipilih oleh pemerintah pusat, sedangan bupati tetap dipilih oleh masyarakat melalui DPRD.
“Pola yang pertama gubernur sebagai perwakilan pemerintahan pusat ditunjuk oleh pemerintah pusat. Tetapi bupati, karena dia bukan perwakilan pemerintah pusat, maka bupati dipilih oleh rakyat melalui DPRD,” kata Cak Imin dikutip dari Beritasatu.
Kesimpulan ini, kata dia, merupakan hasil dari sejumlah pertemuan NU di beberapa musyawarah nasional yang memerintahkan kepada PKB untuk mengkaji ulang pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung.
Alasannya, kata dia, NU dan PKB menilai pemilihan kepala daerah kerap menyedot anggaran tinggi.
“Satu, kesimpulannya seluruh kepala daerah harus biaya mahal untuk menjadi kepala daerah, yang kadang-kadang tidak rasional. Yang kedua, ujung-ujungnya pemerintah daerah juga bergantung kepada pemerintah pusat dalam seluruh aspek, belum bisa mandiri atau apalagi otonom,” jelas dia.
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi memutuskan penyelenggaraan pemilu nasional dan daerah dipisahkan dengan jeda waktu paling singkat dua tahun atau paling lama dua tahun dan enam bulan.
Pemilu nasional antara lain pemilihan anggota DPR, DPD, serta presiden dan wakil presiden, sementara pemilu daerah terdiri atas pemilihan anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta kepala dan wakil daerah.