Reporter : Sulaiman
|
Editor : Fathur

TANJUNG REDEB – Pria itu menunduk perlahan, pel di tangannya bergerak halus menyapu lantai tegel yang dingin. Setiap tarikan dan dorongan, seolah membentuk irama tersendiri di ruang sunyi klenteng Thien Te Kong.

Lantai yang semula terlihat kusam kini kembali berkilau, mencerminkan dedikasi seorang pria paruh baya yang rambutnya dipenuhi uban dan mulai menipis.

Kaos berkerah biru yang dikenakannya kini sudah berbaur dengan keringat, namun ia tak peduli. Celana pendek abu-abunya memudahkan setiap gerakannya yang penuh kehati-hatian.

Setelah puas dengan lantai yang bersih, beralih ke altar persembahan. Dengan tangan yang penuh ketelitian, ia mengusapkan kain lap pada permukaan altar, menghilangkan debu-debu yang menempel.

Sesekali ia berhenti, mengamati altar sejenak, memastikan tak ada sisa debu yang terlewat.

Tubuhnya yang masih berisi bergerak dengan lincah, seolah usianya yang senja tak menjadi halangan. Matanya memancarkan ketenangan dan kepuasan setiap kali altar itu kembali bersih, siap menyambut jemaat yang akan berdoa di klenteng ini.

Inilah rutinitas yang membuatnya merasa berarti, meski sederhana, namun penuh makna.

Wanto namanya dikenal. Pria paruh baya asal Rembang, Jawa Tengah, ini adalah seorang muslim yang menghabiskan hari-harinya membersihkan Klenteng Thien Te Kong di Jalan Piere Tendean, Berau.

Setiap pagi, sejak pukul tujuh, Wanto meninggalkan kontrakannya di kawasan padat penduduk di Jalan AKB Sanipah I. Ia menuju klenteng yang menjadi tempatnya bekerja sebagai petugas kebersihan.

Hingga sore hari, tepatnya pukul tiga, Wanto tak henti-hentinya memastikan klenteng itu bersih dan nyaman bagi jemaat yang datang untuk beribadah. Pekerjaan ini telah digelutinya selama lima tahun.

“Saya baru diangkat jadi pekerja tetap dua tahun ini,” cerita Wanto saat ditemui Selasa (21/1/2025).

Di klenteng itu, Wanto bekerja sendirian, ditemani penjaga keamanan yang tinggal di rumah sebelah klenteng. Sementara istri dan dua anak bujangnya tetap tinggal di Rembang.

Bekerja sebagai petugas kebersihan di klenteng memiliki makna tersendiri bagi Wanto. Ia merasakan kebahagiaan dan ketenangan hati saat melihat para jemaat merasa nyaman di rumah ibadah mereka, meskipun ia seorang muslim.

Meraih pekerjaan ini tak semudah membalikkan telapak tangan. Wanto harus terlebih dahulu mendapatkan kepercayaan dari warga Tionghoa yang menjadi jemaat klenteng itu. Kejujuran adalah modal utamanya.

WhatsApp Image 2025 01 22 at 00.10.24

Dengan gaji dua juta rupiah per bulan, Wanto merasa hidupnya cukup.

“Itu sangat susah, Mas, harus benar-benar jujur,” ujarnya.

Wanto pertama kali tiba di tanah Borneo pada tahun 2004. Usianya saat itu 50 tahun. Ia mendengar kabar dari seorang kawan bahwa upah di Kalimantan lumayan tinggi. Berangkatlah ia dari Rembang ke Surabaya, lalu menumpang truk dan kapal KM Tidar menuju Balikpapan.

Di Balikpapan, Wanto sempat menjadi pemulung, mengais sampah rumah tangga dan mencari besi tua. Namun, karena bosnya yang kurang ramah, ia memutuskan berangkat ke Berau melalui Samarinda di tahun yang sama.

“Saya dapat kabar Berau tempat yang bagus untuk bekerja,” kenang Wanto.

Di Berau, ia masih menggeluti pekerjaan sebagai pemulung, sama seperti ketika pertama kali datang. Dari pekerjaan itu, Wanto bertemu dengan banyak komunitas warga Tionghoa di pusat kota Tanjung Redeb.

Pertemuan ini menjadi pintu masuk baginya untuk mendapat pekerjaan sebagai petugas kebersihan di klenteng.

“Awalnya saya bantu-bantu di belakang klenteng, baru kemudian diangkat jadi pekerja tetap dan digaji bulanan,” terang Wanto.

Gaji bulanan yang diterimanya cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga di Rembang. Setiap dua atau tiga bulan, Wanto mengirim tabungannya ke kampung halaman. Istrinya berjualan, modalnya berasal dari hasil mulung dan bekerja di klenteng.

“Alhamdulillah cukup,” kata Wanto dengan syukur.

Prinsip hidup yang dibawa dari kampung halaman selalu ia pegang teguh: berada di kampung orang, tak boleh mencuri, harus jujur, dan menghormati perbedaan. Prinsip itulah yang membuat Wanto mampu bertahan hidup jauh dari keluarga.

“Itu yang saya pegang dari dulu,” ujarnya.

Di usia senjanya, Wanto tak memungkiri rasa rindu pada keluarga. Ia ingin segera berkumpul kembali dengan sanak saudara di kampung halaman. Jika tak ada aral melintang, Wanto bertekad akan kembali ke Rembang dalam satu atau dua tahun ke depan.

“Saya mau pulang ke kampung, kembali ke anak istri,” ucapnya tersedu. (*)